Sebuah pengantar : Nikah ; telaah maqhosid
Nikah secara bahasa berasal dari shighat fi’il madhi nakaha-yankihu yang berarti berkumpul dan hubungan badan atau memberi nafkah. Pendapat lain menyatakan : al-Nakhu secara etimologi adalah bersetubuh, sehingga nikah secara istilah didefinisikan sebagai proses akad yang menyebabkan dibolehkannya hubungan badan antara seorang laki-laki dengan perempuan.
Di dalam al qur’an, Allah menyebut perintah untuk menikah dalam surat an nur : 32 yang artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”
Menurut ath-Thabari, maksud ayat tersebut adalah perintah bagi kaum muslimin untuk menikahi seseorang yang tidak mempunyai pasangan. Berbeda dengan Imam Ibn Katsir yang cenderung menempatkan ayat ini sebagai perintah menikah bagi setiap orang yang mampu. Menurutnya, makna dari lafadz yJ»tF{$# adalah perempuan yang belum mempunyai suami atau laki laki yang tidak mempunyai istri baik itu masih perawan/perjaka ataupun janda/duda.
Sekian pendapat yang dilontarkan para ulama’ tersebut, paling tidak memberikan sebuah gambaran, bahwa dalam islam, permasalahan nikah merupakan bagian yang krusial. Ini tak lepas dari banyaknya aspek pertimbangan* yang mendasari adanya perintah untuk menikah tersebut. Diantaranya adalah sebagaimana yang dipahami para ahli tafsir dari apa yang tersurat dalam surat ar Rum : 21. Firmannya :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Tujuan dari adanya hubungan pernikahan adalah terciptanya hubungan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah yang dalam makna leksikalnya berarti tentram, cinta, dan kasih sayang.
Menurut tafsir al rozy, yang dinamakan sakinah adalah menyatukan pasangan suami-istri dan mencondongkan hati keduanya. Sedangkan mawaddah wa rahmah berarti saling mencintai dan saling mengasihi antar keduanya dikarenakan adanya hubungan pernikahan tersebut. Sehingga salah satu hal yang (mungkin) menjadi tujuan pernikahan adalah untuk mencapai hubungan yang harmonis di antara suami dan istri.
Sebuah penafsiran lain, yang disebutkan dalam fathu al qodir menyatakan bahwa al mawaddah adalah jima’(hubungan badan), sedang ar rahmah adalah hasil dari mawaddah, yaitu anak.(barangkali) dari sinilah dirumuskan tujuan selanjutnya dari pernikahan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan batin manusia sesuai insting alami mereka, serta untuk meneruskan keberlangsungan keturunan. Dan melihat dari sisi lain, hubungan pernikahan (sebagaimana diketahui) bisa menjadi salah satu hal yang mempererat hubungan antar keluarga pasangan yang menikah, dan (lebih jauh lagi) hubungan ukhuwwah antara kamu muslimin.
Wanita pada Zaman nabi : tinjauan historis
Dalam penjelasan selanjutnya, akan penulis ketengahkan beberapa informasi historis yang telah dianalisa tentang kedudukan perempuan di zaman Nabi. Hal ini penting mengingat topik pernikahan dini ’Aisyah berkaitan erat dengan kondisi wanita saat pernikahan itu berlangsung.
Umar bin Khattab pernah berkata "pada masa jahiliyah, wanita itu tidak ada harganya. Sampai akhirnya Islam datang dan menyatakan bahwa wanita itu sederajat dengan laki-laki." Dalam struktur sosial masyarakat Quraisy, wanita (kalau boleh dikatakan) tidak menikmati eksistensi kemanusiaannya. Wanita (pada zaman itu sering kali) menjadi bulan-bulanan kaum lelaki dan diperlakukan tak ubahnya barang yang bisa dipindah-tangankan. Ia dianggap sebagai penyebab kehinaan sehingga layak untuk ditindas dan dijadikan sebagai pemuas nafsu lelaki. Anak perempuan yang lahir, didaulat sebagai sumber malapetaka yang merendahkan harga diri suku, sehingga kehadirannya hanya mengakibatkan kemurkaan semata. Allah bercerita :
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
"Dan tatkala seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah." (QS An Nahl: 58).
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
"Dan tatkala bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh? (QS At Takwir: 8-9). "
Dalil lain yang menguatkan betapa rendahnya kehormatan wanita saat itu adalah praktik prostitusi yang menjadi pemandangan biasa di berbagai tempat. Pun juga jenis-jenis pernikahan yang terjadi pada masa itu. Nikah istibdha', nikah tawathu, nikah baghaya, nikah syighar, dan lain-lain tidak lebih sebagai kedok hubungan zina belaka.
Hingga diceritakan bahwa Seorang lelaki pada masa Jahiliyah bisa menikahi berapapun wanita yang ia mau tanpa batasan, menggabungkan dua saudara perempuan, atau bahkan mengawini mantan istri ayah-ayah mereka (baik yang ditinggal mati maupun yang diceraikan). Paradigma berpikir yang berkembang saat itu adalah bahwa kaum hawa tidak ubahnya barang dagangan yang bisa diperjual belikan dan atau diwariskan. Pada masa itu, suami bisa dengan seenaknya menggantung status cerai istrinya sampai ia mau mengembalikan seluruh harta yang diterima darinya. Kaum wanita tidak menerima hak waris. Serta kejahatan rumah tangga terhadap wanita menjadi sebuah fenomena yang umum terjadi*.
Kondisi “gelap” yang melingkupi kehidupan wanita jahiliyyah pada akhirnya sirna dengan datangnya risalah Nabi SAW. Islam (secara perlahan) mengentaskan kaum wanita dari ketertindasan sosial dan mendudukkan mereka di singgasana yang mulia. Islam datang memberikan mereka kesempatan untuk menikmati hak-haknya sebagai manusia. Penghormatan Islam terhadap wanita ini tergambar jelas dalam firman Allah :...وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ... (al-Nisa: 19), "Dan pergaulilah mereka (wanita-wanita) dengan baik."
Sehingga jika dilihat dengan seksama, semua ketetapan hukum (baik yang adaptif maupun yang revolusioner) yang berkenaan tentang perempuan, pasti berpijak pada satu semangat besar ; “mengangkat derajat perempuan”.
Adapun tentang pernikahan dini di zaman ketika Rasul hidup, bukanlah menjadi sesuatu hal yang tidak lumrah (baca : tabu), indikasinya adalah sebuah data yang sampai pada kita tentang semua putri Rasullulah yang menikah diusia muda, yaitu saat mereka telah mendapatkan menstruasi pertama terkecuali Fatimah Az zahra, yang menikah diusianya yang ke-14.
Bukti lain adalah sebuah hadis riwayat Abu ‘Ashim bersumber dari ‘Aisyah, yang menceritakan : sepeninggal khodijah, Khoulah binti hakim bertanya kepada Rasulullah apakah beliau mau menikah lagi. Nabi kemudian bertanya, “siapa (yang kau tawarkan) ?”. Khoulah menjelaskan argumentasinya dengan memberikan alternatif: saudah bintu Zam’ah dari golongan janda , ataukah ‘Aisyah bintu Abi bakar dari golongan gadis . Logikanya, jika pada saat itu pernikahan seorang yang masih “belia” dianggap “tidak layak”, pasti Khoulah tidak akan berinisiatif seperti itu. Dan lagi, respon dari Rasulullah tidak menunjukkan adanya sesuatu hal yang salah dengan usulan tersebut.
Dan lagi, perempuan pada zaman itu (tentu saja) berbeda dengan keadaan perempuan sekarang, mereka telah mengalami haidh pada usianya yang ke-9, sehingga pada saat itu, hubungan suami istri sudah bisa dilaksanakan. Mereka juga tidak dikenai tuntutan-tuntutan sebagaimana gadis zaman sekarang. Tidak diwajibkan bagi mereka “wajib belajar sembilan tahun”, tidak perlu sisi kehidupan manusia modern yang kompleks menyibukkan mereka.
Pernikahan Aisyah dengan Nabi Muhammad
Dalam kondisi masyarakat yang demikianlah ‘Aisyah, putri Abu Bakar al-Shiddiq dinikahi Rasulullah. Tepatnya, pada bulan syawwal tahun ke-11 kenabian, saat usianya baru enam tahun. Ia baru tinggal serumah dengan Nabi 7 bulan setelah hijroh pada bulan syawwal di umurnya yang ke-9.
Tentang peristiwa ini, hadis yang telah masyhur di kalangan kita adalah yang diriwayatkan ‘Aisyah sendiri :
حدثنا محمد بن يوسف حدثنا سفيان عن هشام عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوجها وهي بنت ست سنين وأدخلت عليه وهي بنت تسع ومكثت عنده تسعا*.
Kualitas hadis ini – sebagaimana dalam CD RoM Mausu’ah al Kutub al Tis’ah – adalah Hasan Marfu’ Muttashil dengan 24 jalur yang tersebar dalam kitab hadis sembilan.
Dalam syarahnya, Ibn Hajar berkomentar “tentang kebolehan menikah dengan gadis di bawah umur baligh, istidlal-nya kepada firman Allah ...فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ…”. Hadis ‘Aisyah ini menunjukkan bahwa Abu bakr menikahkannya dengan rasul ketika ia belum mencapai usaha dewasa. Sebagian ulama’ (di antara nya al mulahhab) –dengan dalih ini—membolehkan seorang ayah menikahkan anaknya meskipun ia belum siap menjadi istri**, sedang sebagian yang lain (termasuk ibn hazm) menganggapnya sebagai bagian dari ke-khusus-an rasulullah SAW yang tidak perlu diikuti oleh umatnya. Keterangan dari kitab syarh ini (tentu) tidak cukup memberikan keterangan yang komprehensif tentang detail peristiwa tersebut serta apa sebenarnya yang diinginkan oleh nash al hadis..
Pastilah bukan tanpa alasan Rasulullah menikahi Aisyah pada usia dini. Aisyah mempunyai kecerdasan tinggi, Dari kecilnya, sudah tampak tanda-tanda kepintaran dan ketajaman pikiran, karena itu Rasulullah SAW menikahinya sejak ia masih muda untuk menjadikannya perempuan yang paling tahu tentang da’wah serta hal-ihwal perilaku rasulullah sehari-hari. Karena sebagaimana yang diketahui, ilmu yang tertanam mulai kecil akan lebih kuat tertanam. Dan hasilnya ‘Aisyah kemudian tersohor menjadi satu di antara beberapa “pendekar” hadis. Ia banyak mengingat pesan (hadits) Nabi Muhammad SAW., yang kemudian ia sampaikan kepada banyak orang. Banyak hadits Nabi yang berasal dari riwayatnya. Dari sini, (terlihat seperti) secara disengaja, Rasulullah ingin mempersiapkannya sebagai sahabat wanita yang handal (baik dari segi intelegensi maupun spiritualitasnya.
Karena kecerdasannya, Ia ingat apa yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para jemaah di masjid*. Dinamika yang terjadi dalam forum masjid dapat direkam olehnya, bahkan ia juga sering kali bertanya mengenai berbagai hal kepada Rasulullah SAW. Inilah yang menjadikannya diakui oleh banyak kalangan sebagai intelek perempuan yang mempunyai sumber orisinal dari Nabi Muhammad SAW. Sehingga setelah wafatnya Rasulullah SAW, ia menjadi tempat bertanya tentang berbagai hal yang tidak diketahui oleh umat dan para shahabat.
Dan, tujuan ini secara tak langsung juga menjurus kepada “peningkatan derajat”bagi perempuan. Dengan mempersiapkan seorang perempuan yang tangguh, Rasul seakan melakukan tindakan preventif untuk melindungi “penghormatan terhadap kredibilitas” perempuan nantinya.**
Kemudian mengenai akad nikah yang dilaksanakan 3 tahun sebelum “hidup bersama”, ini (menurut penulis) malah memperkuat data yang dipaparkan di atas. Bahwa Nabi SAW benar-benar ingin mendidiknya. Dalam banyak hadis diceritakan bagaimana Nabi seringkali mengunjungi ‘Aisyah kemudian mengajaknya bercanda dan berkelekar serta mengajarinya (walaupun secara tersirat) sebuah pelajaran. Hanya (mungkin) waktu dan keadaan yang belum memungkinkan mereka hidup bersama. Karena sebagaimana yang diketahui, pernikahan itu terjadi pada periode madinah, di mana kondisi sosial-struktural kaum muslimin belum stabil.
Kontekstualisasi : pembacaan komprehensif terhadap kasus pernikahan Syeikh Puji
Menjadi isu yang ”santer” akhir – akhir ini, pernikahan seorang kyai di semarang yang dilangsungkan dengan seorang gadis berusia 12 tahun***. Tak hanya ahli hukum (baik agama maupun negara) saja yang ”geger” dengan perbincangan tentangnya. Banyak akademisi dari bermacam bidang keilmuan ingin meng-analisa fenomena ini dari kaca mata ilmu yang telah mereka pelajari. Termasuk penulis (tentu saja). Terlepas dari apakah ini nanti menjadi sebuah kajian obyektif ataukah hanya sekedar analisa yang dipaksakan, ada beberapa hal yang ingin penulis tekankan.
Berasumsi bahwa Syeikh Puji (sedikit banyak) terpengaruh dengan hadis yang telah dibahas panjang di atas, Pendekatan yang akan dipakai adalah dengan kritik pemahaman terhadap kontekstualisasi hadis tersebut.
Pertama
Melihat dari tujuan utama perkawinan sebagai pembentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rohmah. Harus lebih dahullu didahulukan sebuah spekulasi positif bahwa tujuan pasutri tersebut memang untuk demikian. Hanya saja, ada (paling tidak) 2 variable yang mesti ditelaah ulang.
Pertama, kondisi ulfa sebagai gadis Indonesia berusia 12 tahun yang hidup pada Abad Millenium. Berbeda dengan kondisi ‘Aisyah (sebagaimana yang telah dipaparkan), sisi kehidupan seorang gadis pada zaman sekarang, sudah sangatlah kompleks. Ada sistem tak tertulis yang memaksanya –sebagaimana gadis-gadis lain—memenuhinya demi kemaslahatan mereka sendiri. Pendidikan, pergaulan, pelampiasan emosi remaja, hubungan dengan orang tua serta banyak hal lain menjadi sisi-sisi yang tak semestinya diabaikan.
Kedua, kerelaan istri ”lama” Syeikh Muji. Pembahasan ini sebenarnya lebih pada pemaknaan nash-nash monogomi yang keluar dari inti pembicaraan makalah ini. Hanya (menurut hemat penulis), aspek ini juga terlalu “jelas” untuk dianggap suram.
Kedua
Sesuatu, yang fenomena apapun tak bisa lepas darinya, adalah kondisi sosial-hisoris saat kejadian berlangsung. Dalam kasus Rasulullah SAW (dan telah diterangkan panjang lebar), menikah dalam usia yang ”relatif muda” adalah sesuatu yang lumrah (baca : tidak tabu). Selain konstruksi pemahaman masyarakatnya yang menjadikannya demikian, apa yang telah disebutkan dalam point pertama tadi, menguatkan asumsi tersebut.
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah, bahwa adat istiadat suatu kaum, tidak tercipta seketika, tetapi ia merupakan akumulasi pekerjaan-pekerjaan yang terlaksana dalam jangka waktu yang lama. Dan dalam waktu panjang tersebut. Ada nilai-nilai yang (secara otomatis) tercipta. Nilai-nilai ini akan sangat berpengaruh pada kondisi sosial masyarakat tersebut. Yang berarti, pelanggaran tarhadapnya akan menimbulkan sebuah gap antara masyarakat sebagai kelompok mayoritas dengan pelaku ”penyimpangan”. Implikasi jauhnya, psikologi dan kehidupan sosial si pelaku akan (rentan) berubah. Ia akan (sangat mungkin) merasa asing, terintimidasi, dan lain-lain.
Jelas ini bukan hal yang ”remeh”. Dan (untuk saat ini) penulis belum mempunyai kapasitas untuk menganalisa lebih jauh.
Ketiga
Jika dalam pernikahannya dengan ’Aisyah, Rasulullah memiliki motivasi tersendiri untuk mendidik dan mempersiapkannya menjadi sahabat yang handal. Maka, harus pula dilihat, apa motivasi pribadi yang melandasi perbuatan Syaikh puji tersebut. Apakah hanya sebagai pemuas nafsunya sebagaimana yang dituduhkan banyak orang, ataukah ada alasan lain yang melatar-belakanginya. Alasan-alasan ini* juga perlu digali lebih jauh informasi tentangnya.
Bagian akhir : Sunnah vis a vis hadis
Dalam pemaknaan hadis nabi SAW versi Indonesia, pengertian keduanya seringkali disamakan. Padahal keduanya berbeda jauh yang masing-masing dari keduanya mempunyai dimensi tersendiri. Pada akhirnya, pemahaman yang salah ini, menimbulkan beberapa kerancuan dalam aktualisasi mana sebuah hadis.
Dalam diskursus ilmu hadis, baik “sunnah nabi” maupun “hadis nabi”, dianggap sama-sama bersumber dari nabi Muhammad SAW. Dalam kapasitasnya yang demikian, keduanya juga ter”ilham”kan dari “bisikan” Allah SWT. Letak perbedaannya adalah pada apakah hadis tersebut applicable (ter-formulasi dalam sebuah struktur masyarakat) atau tidak ?.
Pertanyaan mendasar ini muncul, sebagai akibat dari munculnya hadis - hadis (yang kalau boleh dibilang banyak)“bisu” dalam ranah aplikasi, terutama pada masyarakat yang kondisi struktural-historikalnya berbeda dengan tatanan di zaman Nabi SAW***. Karenanya, melihat aspek normativitas maupun historisitas dari sebuah hadis menjadi sangat urgen. Pada intinya, sebuah sunnah berasal dari hadis) baik yang qouly maupun fi’ly) tetapi tidak semua hadis bisa menjadi (atau dijadikan) sunnah.
Contoh kecilnya adalah permasalahan tata cara makan Rasulullah SAW. Dapat diketemukan pada shahih muslim sebuah hadis hasan dengan sanad dan matan lengkap sebagai berikut :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَها َ****
Posisinya sebagai hadis hasan yang bersumber dari Nabi SAW tak diragukan lagi, terlebih didukung dengan kwalitas sanad maupun matan yang qualified. Hanya dari segi pemaknaannya, hadis ini bukanlah sunnah. Yaitu bahwa tidak selamanya kita “dituntun” untuk makan dengan jari ataupun menjilat tangan kita setelah selesai makan*.
Dalam kasus pernikahan dini antara Rasulullah SWT dengan ‘Aisyah R.A, dengan melihat maqoshid yang telah dibahas awal tadi, terkesan “dipaksakan” untuk menjalankan apa yang tersurat dalam teks tanpa melihat hal-hal lain, walaupun data-data tentangnya valid dan lulus dari kritik sanad dan matan.
Wallaho a’lamu bish showab
Yogyakarta, 10 Desember 2008
Daftar Referensi :
al-Jaziry, Abdurrahman ,al-Fiqh ‘ala al-Madzhib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiah, 2004)
al-Bigha, Mustafa dib, al-Tahdzib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib, (Singapura-Jiddah-Indonesia: Haramain),TT
CD RoM al Maktabah Al Syamilah, bin ‘ibad, Al shohib al-Muhith fi al-Lughah
_____________________________,al mishry, Muhammad Lisan al-Arab,
_____________________________, Al-Thabari, Abu ja’far 'Tafsir al-Thabari'Kutub el-Barnamij fi al-Tafsir, Vol 19,
_____________________________, katsir, Ibn, Tafsir al-qur’an al ‘adhim, Vol 6, 8
_____________________________, Al suyuthy, al Mahally, tafsir al-Jalalain, Vol. 6,
_____________________________, al alusy, muhammad tafsir al-Alusi, Vol. 13
_____________________________, ar rozy, Muhammad, tafsir al-Razi, Vol 12
_____________________________,al Syaukani, Fath al-Qadir vol. 4
_____________________________, Ibn hajar al ‘asqolany, al ishobah fi tamyiz al shohabah, Vol 14
_____________________________, Fatawa al Syabakah al Islamiyyah, vol 16
_____________________________,Ibn ‘abd al barr, al-Isti'ab Fi Ma'rifah al-AshhabVolum. 4.
_____________________________, mirqot al mafatih syarh misykah.vol : 10
_____________________________, ibn Hajar al ‘Asqolany, Fath al bary bisyarhi shohih al bukhory, vol14
CD. ROM. Al-mausuah al-Hadits al-Syarif, (Global Islamic Software, 1991-1997)
Mubin, Nurul, Semesta Keajaiban Wanita, (yogyakarta: Diva press, 2008)
Minggu, 12 April 2009
Langganan:
Komentar (Atom)
