Jumat, 27 Juni 2008

REKOREKSI TERHADAP TAYANGAN GOSSIP TELEVISI

“The people has right to know”
Adagium di atas telah masyhur ditelinga kita. Dengan pemaknaan sederhana, ini dapat berarti bahwa setiap orang berhak tahu apa yang ingin ia ketahui karena mencari tahu adalah kebutuhan manusiawi yang niscaya adanya dalam diri manusia. Naluri alami ini tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban. Semakin banyak hal – hal baru di sekitarnya, semakin orang tersebut terdorong untuk mengetahui lebih banyak dari pengetahuan orang lain. Ini karena, manusia pada umumnya doyan mencari informasi sebanyak-banyaknya, tentu saja dengan berbagai alasan dan kepentingan yang berbeda satu dengan lain. Maklum, bahwa yang sering mengaktualisasikan konsep ini, ~tentu saja~ adalah mereka yang senang mengobok–obok realita, mencari hal baru tentang apa yang ~menurut mereka~ seharusnya ingin diketahui khalayak (baca: pers).
Dalam banyak hal, pers punya peran besar. Informasi dengan standar obyektivity-oriented yang disajikan, banyak membantu memberikan pembelajaran kepada masyarakat. Dengan kata lain, jika berlandaskan idealisme jurnalistik yang baik, fungsi pers dan media sebagai “control agent of society” akan terealisasi.
Sayangnya, ada beberapa jalan pers yang penulis anggap keluar dari jalur tersebut. Sajian pers yang seharusnya menjadi sebuah acara berdasar relita, tak lagi berorientasi pada obyektivitas data dan kesesuaiannya dengan kenyataan, tetapi ada stressing pada “bagaimana sajian ini dianggap menarik sehingga rating acara tersebut naik”.
Fakta gosip, dilema antara kemubadziran dan efek negatif-persuasif.
Di beberapa waktu terakhir, acara bertajuk “pemberitaan informasi orang terkenal” ramai disajikan. Expose kehidupan seleb, baik dari kalangan entertainer maupun golongan elit berdasi, menjadi syndrome baru bagi kehidupan manusia Indonesia. Bukan hanya masyarakat saja yang senang dengan menu yang selalu up to date tersebut, tetapi media pun seakan gandrung dengan pemberitaan yang serupa.
Tidak sulit menemukan jadwal acara seperti ini. Pada beberapa stasiun Televisi, acara dengan contain berita yang sama bahkan dapat ditayangkan lebih dari tiga kali dalam sehari, tak heran jika keberadaan acara tersebut tak pernah luput dari pembahasan panjang tentang isi serta kabar-kabar di dalamnya.
Lebih lanjut, acara bertema gosip yang biasa disajikan dalam berbagai variasi tayangan televisi dewasa ini, mengeksploitasi hampir semua sisi seorang public figure. Mulai dari permasalahan yang tengah dihadapi, hingga rutinitas harian sehari-hari. Uniknya, jika yang ditayangkan adalah sesuatu yang positif, terkesan tak lebih dari sebuah informasi yang dipaksakan. Banyak yang naïf untuk dijadikan “sesuatu yang selayaknya diketahui masyarakat”(baca: info penting). Sebaliknya jika sisi negatif yang dimunculkan, secara tidak langsung, tayangan ini telah mengerucut sifatnya menjadi data-data “tidak baik” yang persuasif. Artinya, di setiap pemberitaan jelek yang disinggung, ada muatan pembelajaran tak langsung kepada audience. Kecenderungan mengikuti public figure akan membuka kemungkinan diikutinya perilaku–perilaku yang tidak patut itu oleh masyarakat. Apalagi dengan penayangan yang berulang-ulang yang ~tentu saja~ besar kontribusinya dalam mengkontruksi pemahaman masyarakat. Kenyataan ini tentu saja menyimpang dari etika jurnalistik yang disepakati pers Indonesia, bahwa “wartawan Indonesia…menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya....serta terpercaya dalam mengemban profesinya.( Pasal 1 kode etik jurnalistik PWI pen.).
Lebih ironis lagi, ketika informasi-informasi yang seharusnya mendorong masyarakat berpikir “lebih maju” dan “lebih dewasa”, justru berimplikasi negatif bagi perkembangan pola pikir mereka. Dulu, ada beberapa pembicaraan tabu yang oleh kultur masyarakat Indonesia pantang dibahas secara terbuka. Privacy menjadi sesuatu yang benar-benar hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Ada aturan tak tertulis yang menyatakan penghormatan kepada sisi pribadi seseorang, sehingga membicarakan sesuatu yang bukan urusan kitapun dianggap inpolite. Memang secara mutlak, ini semua tak bisa menjamin terciptanya masyarakat yang tenang dan kondusif. Tapi paling tidak, adanya sifat honour and respect alami pada masyarakat akan menjadi aturan pengekang kebebasan yang sebebas bebasnya.
Keadaan saat sekarang jauh berbeda dengan apa yang dipaparkan di atas. Media ~dalam acara gosip tersebut~ seakan me-legal-kan penggunjingan dalam skala yang lebih besar. Informasi-informasi yang diajukan dijadikan data-data referensi tentang seluk-beluk kehidupan seseorang public figure. Implikasinya, kultur budaya masyarakatpun turut bergeser cukup signifikan. Gosip tak hanya hangat dibicrakan pada acara semisal arisan ibu-ibu, tapi juga merambat ke warung kopi, pasar bahkan di taman-taman sekolahan. dilemanya jelas, kalau bukan membicarakan sesuatu yang mubadzir untuk dibahas, pastilah tukar menukar data yang negatif-persuasif tadi.
Kebebasan pers penting, tapi bukan yang paling penting,
Lagi lagi, alasan klise yang dilontarkan adalah dasar kebebasan. Entah kebebasan berekspresi, kebebasan pers dan atau kebebasan-kebebasan semacamnya. Meskipun jelas, apa yang dinamakan freedom tersebut, seringkali digunakan untuk melegitimasi sesuatu yang keliru.
Tentang kebebasan ini, media ~dalam semua sajiannya~ hendaknya tidak hanya melihat dari kaca mata kebebasan yang parsial an sich. Di belahan dunia manapun, termasuk di Negara-negara yang berazaskan demokrasi, tidak ada kebebasan yang benar benar absolut. Pemahaman tentang kebebasan yang benar justru akan memberikan batasan yang jelas sejauh mana intervensi atas berbagai hal boleh diterapkan.
Hal yang lebih krusial dari sekedar mempertahankan kebebasan yang notabene meresahkan tersebut adalah bagaimana sikap yang harus diambil untuk menjaga stabilitas masyarakat. Informasi bukan hanya harus obyektif, tetapi musti dipertimbangkan aspek lain, diantaranya adalah hak masyarakat untuk menjaga dan memelihara rasa tertib dan aman, karena point ini juga merupakan bagian dari hak-hak manusia.
Pelanggaran privacy = pelanggaran HAM
Hampir sering dijumpai pada tayangan gosip di stasiun televisi swasta manapun, insiden yang menggelitik ketika salah seorang dari insan pers memaksakan sebuah pertanyaan kepada seseorang (baca: seleb), padahal nyana (dari responnya) bahwa orang tersebut tampak tidak senang dengan pertanyaan yang diajukan, sehingga ia harus mengayunkan tangannya, atau ~biasanya~ menutup mukanya menghindar dari jepretan kamera. Secara halus, insiden seperti ini mengesankan adanya pelanggaran privacy.
Padahal, bagi pers yang profesional, individual’s right for privacy hanya dapat dilanggar untuk kepentingan politik yang lebih besar. Taruhlah contoh Di USA, ketika seorang Gary Hart mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai presiden pada 1988 karena skandal seksnya dengan foto model molek Donna Rice, terbongkar oleh media. Juga Andrew Jackson yang jatuh dari kursi kepresidenan Amerika karena ketahuan menyeleweng dengan istri Menteri Pertahanan John Eaton. Di Negara kita sendiri, ada tindakan asusila oknum wakil rakyat yang hangat diperbincangkan media terjadi pada awal 2007 lalu. Seorang politisi sebuah partai besar yang juga mantan anggota wakil rakyat diberitakan mempunyai skandal dengan seorang kader partainya, yang akhirnya, ia mengundurkan diri dari keanggotaannya sebagai anggota dewan.
Kiranya hanya untuk alasan yang demikianlah tindakan expose hal-hal yang bersifat pribadi bisa dibenarkan. Selebihnya, “Wartawan Indonesia haruslah menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum”.( pasal 6 kode etik jurnalistik PWI pen.)
Seharusnya bukan infotainment
Merujuk pada kode etik jurnalistik wartawan Indonesia Pasal 3 bahwa “wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional”, apa yang terjadi sekarang sangat perlu dikoreksi ulang.
Perlu diapresiasi analisis Butet Kartaredjasa, seorang aktor monolog asal Yogyakarta bahwa “sebagian besar tayangan infotainment di televisi tidak memiliki “saringan” untuk menyeleksi informasi, dan tidak bisa membedakan antara fakta dan fiksi”. Sehingga makna infotainment yang secara leksikal berarti “pemberian informasi” bergeser ke posisinya sebagai produk entertainment .
Fungsi dari acara tersebut secara tak disadari telah berputar 180 derajat dari sesuatu yang berlandaskan data obyektif menuju hal lain yang subyekvitas pembuatnya kental di dalamnya. Tak heran jika sebuah pernyataan mencuat kemudian,“ini bukan lagi infotainment, ini murni hiburan”
“Not All the fact reflect the truth”, Tidak semua yang terjadi menunjukkan yang sebenarnya. Tampaknya kaidah ini belum dipegang kuat oleh insan pers. Menurut pengamatan penulis, data dan informasi yang disampaikan seringkali merupakan cuplikan kejadian yang parsial, sehingga untuk menjadi “tontonan” yang menarik haruslah dibumbui dengan kisah – kisah serta cerita – cerita yang notabene “ada” sutradaranya. Terlalu berburuk sangka dan meninggalkan azaz praduga tak bersalah, demi kepentingan pribadi, seakan telah menjebak media kita ke dalam sistem penuh kebohongan dan ketidak jujuran.
Sehingga, tujuan sebenarnya dari ditayangkannya acara tersebutpun menjadi rancu. Apakah untuk menjalankan tugas memenuhi keinginan masyarakat, dengan informasi-informasi yang akurat, atau justru ~dengan berbagai cara~ berusaha membentuk keingin tahuan mereka?
Beberapa refleksi
Masih menurut Butet, “penyebab semua itu, karena tidak adanya etos jurnalisme dalam kerja para awak infotainment. Kenyataan ini tampak ketika data yang disajikan tak lagi dapat dipertanggung jawabkan, tidak akurat dan tidak fair”. "Infotainment seharusnya menjadi kegiatan keredaksian, sehingga menjadi produk berita yang dapat dipertanggungjawabkan,". Dalam posisinya sebagai produk berita, infotainment dapat dikemas menjadi tayangan informasi ringan yang disajikan secara bertanggung jawab".
Pasal 5 kode etik jurnalistik wartawan Indonesia dengan tegas menyebutkan “Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri.” Inilah idealisme yang harus dimiliki untuk menelorkan info yang fair, responsible dan accurate.
Karenanya perlu ditinjau ulang proses rekrutmen petugas-petugas pewartaan. Pelatihan-pelatihan dengan berdasar kode etik jurnalistik juga patut diadakan mengingat perlunya pemahaman yang matang tetang bagaimana mendongkrak profesionalitas awak pers. Selain itu, pihak pengelola televisi tidak boleh salah lagi menempatkan infotainment. Acara semacam ini seharusnya dikelola oleh redaksi pemberitaan dan bukan oleh redaksi hiburan.
Dan kita selaku masyarakat yang saben hari disuguhi “kebenaran” yang sangat mungkin “salah” hendaklah mulai bertanya,”Seandainya selebriti tersebut berpacaran lalu menikah, apa kita yang rugi ataukah kita untung?” tentu anda semua lebih tahu jawabannya.

Tidak ada komentar: