Jumat, 27 Juni 2008

FATWA MUI VIS A VIS TRAGEDI MONAS 1 JULI

Kejadian yang semua orang menyayangkan terjadinya.
Pada akhir Juni lalu, umat Islam Indonesia digemparkan dengan “penyerangan” oleh sejumlah orang yang mengatas namakan sebuah Ormas Islam terhadap kelompok lain yang sedang melakukan aksi di depan MONAS memeringati hari kesaktian pancasila. Beberapa pendapatpun bermunculan. Berbagai Komentar miring serta penghujatan dialamatkan kepada mereka yang terlibat penyerangan. Pemerintahpun tak tinggal diam, sesuai dengan instruksi langsung dari Presiden RI, beragam usaha yuridis ditempuh guna menjerat pelaku kekerasan tersebut.
Di luar konflik panjang tersebut, ada hal yang menggelitik perasaan penulis. Pasca hilangnya seseorang yang mengaku bertanggung jawab atas insiden tersebut, beredar video di sejumlah televisi tentang pernyataan sang buron akan kesediaannya menyerahkan diri jika SKB (Surat Keputuan Bersama) 3 Menteri tentang Aliran Ahmadiyyah telah keluar. Apa yang terjadi seolah ingin menunjukkan bahwa satu dari beberapa hal yang menyebabkan “penyerangan” adalah belum keluarnya SKB 3 Menteri.
Sehingga lagi, MUI yang notabene tidak tahu apapun tentang “penyerangan” tersebut terkena dampaknya. Menurut beberapa orang, fatwa MUI tentang sesatnya aliran Ahmadiyyah turut mem-back ground-i aksi penyerangan tersebut. Banyak hujatan yang menyayangkan keluarnya fatwa tersebut. Inilah kiranya hal mendasar yang membuat penulis yang masih sangat bodoh ini ingin menyuarakan isi batinnya, setidaknya agar ada yang mau meng-ishlah jika ternyata apa yang penulis sampaikan salah.
Kontroversi fatwa MUI dan SKB 3 Menteri
Di antara sebelas pasal dalam fatwa MUI hasil Munas MUI VII tahun 2005 lalu, terdapat beberapa poin yang dianggap kontroversial. diantaranya pengharaman aliran Ahmadiyah (poin 5). Pada awalnya-pun, fatwa tersebut telah memunculkan polemik berkepanjangan antar para cendekia muslim sendiri. Beberapa golongan berang. Pasalnya, fatwa tersebut dianggap menyalahi HAM, dan memprofokasi kaum muslimin mendiskreditkan kelompok termaksud.
Di lain pihak, mereka yang se”kata” dengan MUI, tak kalah lantang bersuara. Dengan mengatas namakan "salafusshalih" berbagai alasan pembelaan dikeluarkan. Yang pada ujungnya, menuntut tindakan lebih lanjut untuk menerapkan fatwa yang telah dikeluarkan.
Ironis tentunya, bahwa justru perpecahanlah yang ditimbulkan oleh munculnya fatwa MUI tersebut. Kemunculannya seakan malah membawa bibit pertikaian antar umat islam sendiri. Apalagi setelah sekarang SKB 3 Menteri diterbitkan. Masih banyaknya suara sumbang tersebutlah yang kiranya memerlukan adanya sebuah kontruksi pemahaman yang tepat dalam menyikapi fatwa tersebut.
Fatwa MUI ; pendekatan kontekstual
Memang secara tekstual, formulasi kata yang merumuskan pasal 5 (Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam) terkesan otoriter, sehingga terbesit kesan bahwa MUI -sebagai forum tertinggi ulama’ Islam Indonesia- lah yang memelopori merebaknya fenomena "haram–mengharamkan" atau "kafir-mengkafirkan" yang berujung pada “penyerangan” dan tindakan “brutal”. Padahal menurut hemat penulis, perpecahan seperti ini tidak harus terjadi jika kita melakukan pemahaman yang proporsional terhadap isi dan kandungan fatwa MUI. Yaitu melihat apa yang melatar belakangi munculnya fatwa tersebut.
Fatwa tersebut akan terasa sangat wajar, jika kita memandang MUI dalam kapasitasnya sebagai pemegang tambuk tertinggi dalam permasalahan–permasalahan agama Islam di Indonesia. Menjalankan fungsi tersebut, MUI sebagai lembaga yang independent haruslah tanggap terhadap realita yang ada dan sesegera mungkin mengeluarkan sikap (baca : fatwa) terhadap polemik yang muncul. Sehingga, adanya fatwa –yang walaupun dianggap salah oleh beberapa orang- merupakan sebuah keniscayaan yang wajar adanya.
Fatwa vs Qadha’
Menilai fatwa serupa dengan Qadha’, adalah sebuah kekeliruan. Secara historis, Qadha’ lebih tinggi otoritasnya dibanding fatwa. Qadha’ merupakan keputusan final dari Qadhi (hakim, pemerintah) yang bersifat mengikat dan otoriter. Sedang fatwa, hanyalah pandangan seorang yang "alim" sebagai hasil dari ijtihadnya. Meski begitu, kredibilitas seorang mufti yang diakui masyarakat umum sering membuat fatwa terposisikan sebagaimana Qadha’(harus dilaksanakan).
Jadi, ulama’ MUI -dengan berbagai fatwa yang mereka keluarkan- pada hakikatnya hanyalah menyampaikan apa yang menjadi hasil pemikiran mereka (baca : ijtihad), sedang masyarakat sendirilah yang menentukan apakah fatwa tersebut akan mereka terapkan atau tidak.
Memandang permasalahan dari sudut ini akan memahamkan kita bahwa tidak ada maksud MUI untuk "murni" haram-mengharamkan. Ataupun untuk membuat kebingungan di antara umat islam.
Mayoritas Muslimin Indonesia
Penyerangan beberapa elemen serta ormas Islam pada tanggal 1 juni lalu serta berbagai tindakan anarkis terhadap tempat-tempat ibadah serta tempat tinggal sekelompok orang yang difatwai "sesat", seharusnya membuka mata kita bahwa ternyata masyarakat Indonesia masih awwam. Perbedaan yang ada belum dapat disikapi dengan sikap yang seharusnya; Karenanya, keberadaan MUI (sebagai forum tertinggi ulama’ Indonesia) -yang notabene memegang urusan agama seluruh muslimin Indonesia- tak terbantahkan urgensinya.
Dan bahwa fatwa MUI disinyalir memprofokasi tindakan anarkis tersebut, inilah yang seharusnya menjadi "PR" bersama segenap cendekia muslim. Bagaimana membimbing umat menyikapi setiap fatwa yang muncul dengan respon yang benar. Tidak dengan menyalahkan serta menggugat MUI yang memberi fatwa, tetapi meng"islah" pandangan serta perilaku masyarakat yang di beri fatwa. Tidak hanya memperbaiki orang lain, berbenah diri sendiri dan intropeksi ke dalam juga wajib dilakukan.
Pada intinya, melihat ghirroh MUI dirasa lebih mendesak daripada mengobok-obok dzahir fatwa tersebut. Semangat "kemaslahatan" yang diusung MUI dalam fatwa fatwanya adalah manifestasi tanggung jawab serta kepedulian mereka sebagai "MAJLIS ULAMA’ INDONESIA"

Tidak ada komentar: