“The people has right to know”
Adagium di atas telah masyhur ditelinga kita. Dengan pemaknaan sederhana, ini dapat berarti bahwa setiap orang berhak tahu apa yang ingin ia ketahui karena mencari tahu adalah kebutuhan manusiawi yang niscaya adanya dalam diri manusia. Naluri alami ini tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban. Semakin banyak hal – hal baru di sekitarnya, semakin orang tersebut terdorong untuk mengetahui lebih banyak dari pengetahuan orang lain. Ini karena, manusia pada umumnya doyan mencari informasi sebanyak-banyaknya, tentu saja dengan berbagai alasan dan kepentingan yang berbeda satu dengan lain. Maklum, bahwa yang sering mengaktualisasikan konsep ini, ~tentu saja~ adalah mereka yang senang mengobok–obok realita, mencari hal baru tentang apa yang ~menurut mereka~ seharusnya ingin diketahui khalayak (baca: pers).
Dalam banyak hal, pers punya peran besar. Informasi dengan standar obyektivity-oriented yang disajikan, banyak membantu memberikan pembelajaran kepada masyarakat. Dengan kata lain, jika berlandaskan idealisme jurnalistik yang baik, fungsi pers dan media sebagai “control agent of society” akan terealisasi.
Sayangnya, ada beberapa jalan pers yang penulis anggap keluar dari jalur tersebut. Sajian pers yang seharusnya menjadi sebuah acara berdasar relita, tak lagi berorientasi pada obyektivitas data dan kesesuaiannya dengan kenyataan, tetapi ada stressing pada “bagaimana sajian ini dianggap menarik sehingga rating acara tersebut naik”.
Fakta gosip, dilema antara kemubadziran dan efek negatif-persuasif.
Di beberapa waktu terakhir, acara bertajuk “pemberitaan informasi orang terkenal” ramai disajikan. Expose kehidupan seleb, baik dari kalangan entertainer maupun golongan elit berdasi, menjadi syndrome baru bagi kehidupan manusia Indonesia. Bukan hanya masyarakat saja yang senang dengan menu yang selalu up to date tersebut, tetapi media pun seakan gandrung dengan pemberitaan yang serupa.
Tidak sulit menemukan jadwal acara seperti ini. Pada beberapa stasiun Televisi, acara dengan contain berita yang sama bahkan dapat ditayangkan lebih dari tiga kali dalam sehari, tak heran jika keberadaan acara tersebut tak pernah luput dari pembahasan panjang tentang isi serta kabar-kabar di dalamnya.
Lebih lanjut, acara bertema gosip yang biasa disajikan dalam berbagai variasi tayangan televisi dewasa ini, mengeksploitasi hampir semua sisi seorang public figure. Mulai dari permasalahan yang tengah dihadapi, hingga rutinitas harian sehari-hari. Uniknya, jika yang ditayangkan adalah sesuatu yang positif, terkesan tak lebih dari sebuah informasi yang dipaksakan. Banyak yang naïf untuk dijadikan “sesuatu yang selayaknya diketahui masyarakat”(baca: info penting). Sebaliknya jika sisi negatif yang dimunculkan, secara tidak langsung, tayangan ini telah mengerucut sifatnya menjadi data-data “tidak baik” yang persuasif. Artinya, di setiap pemberitaan jelek yang disinggung, ada muatan pembelajaran tak langsung kepada audience. Kecenderungan mengikuti public figure akan membuka kemungkinan diikutinya perilaku–perilaku yang tidak patut itu oleh masyarakat. Apalagi dengan penayangan yang berulang-ulang yang ~tentu saja~ besar kontribusinya dalam mengkontruksi pemahaman masyarakat. Kenyataan ini tentu saja menyimpang dari etika jurnalistik yang disepakati pers Indonesia, bahwa “wartawan Indonesia…menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya....serta terpercaya dalam mengemban profesinya.( Pasal 1 kode etik jurnalistik PWI pen.).
Lebih ironis lagi, ketika informasi-informasi yang seharusnya mendorong masyarakat berpikir “lebih maju” dan “lebih dewasa”, justru berimplikasi negatif bagi perkembangan pola pikir mereka. Dulu, ada beberapa pembicaraan tabu yang oleh kultur masyarakat Indonesia pantang dibahas secara terbuka. Privacy menjadi sesuatu yang benar-benar hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Ada aturan tak tertulis yang menyatakan penghormatan kepada sisi pribadi seseorang, sehingga membicarakan sesuatu yang bukan urusan kitapun dianggap inpolite. Memang secara mutlak, ini semua tak bisa menjamin terciptanya masyarakat yang tenang dan kondusif. Tapi paling tidak, adanya sifat honour and respect alami pada masyarakat akan menjadi aturan pengekang kebebasan yang sebebas bebasnya.
Keadaan saat sekarang jauh berbeda dengan apa yang dipaparkan di atas. Media ~dalam acara gosip tersebut~ seakan me-legal-kan penggunjingan dalam skala yang lebih besar. Informasi-informasi yang diajukan dijadikan data-data referensi tentang seluk-beluk kehidupan seseorang public figure. Implikasinya, kultur budaya masyarakatpun turut bergeser cukup signifikan. Gosip tak hanya hangat dibicrakan pada acara semisal arisan ibu-ibu, tapi juga merambat ke warung kopi, pasar bahkan di taman-taman sekolahan. dilemanya jelas, kalau bukan membicarakan sesuatu yang mubadzir untuk dibahas, pastilah tukar menukar data yang negatif-persuasif tadi.
Kebebasan pers penting, tapi bukan yang paling penting,
Lagi lagi, alasan klise yang dilontarkan adalah dasar kebebasan. Entah kebebasan berekspresi, kebebasan pers dan atau kebebasan-kebebasan semacamnya. Meskipun jelas, apa yang dinamakan freedom tersebut, seringkali digunakan untuk melegitimasi sesuatu yang keliru.
Tentang kebebasan ini, media ~dalam semua sajiannya~ hendaknya tidak hanya melihat dari kaca mata kebebasan yang parsial an sich. Di belahan dunia manapun, termasuk di Negara-negara yang berazaskan demokrasi, tidak ada kebebasan yang benar benar absolut. Pemahaman tentang kebebasan yang benar justru akan memberikan batasan yang jelas sejauh mana intervensi atas berbagai hal boleh diterapkan.
Hal yang lebih krusial dari sekedar mempertahankan kebebasan yang notabene meresahkan tersebut adalah bagaimana sikap yang harus diambil untuk menjaga stabilitas masyarakat. Informasi bukan hanya harus obyektif, tetapi musti dipertimbangkan aspek lain, diantaranya adalah hak masyarakat untuk menjaga dan memelihara rasa tertib dan aman, karena point ini juga merupakan bagian dari hak-hak manusia.
Pelanggaran privacy = pelanggaran HAM
Hampir sering dijumpai pada tayangan gosip di stasiun televisi swasta manapun, insiden yang menggelitik ketika salah seorang dari insan pers memaksakan sebuah pertanyaan kepada seseorang (baca: seleb), padahal nyana (dari responnya) bahwa orang tersebut tampak tidak senang dengan pertanyaan yang diajukan, sehingga ia harus mengayunkan tangannya, atau ~biasanya~ menutup mukanya menghindar dari jepretan kamera. Secara halus, insiden seperti ini mengesankan adanya pelanggaran privacy.
Padahal, bagi pers yang profesional, individual’s right for privacy hanya dapat dilanggar untuk kepentingan politik yang lebih besar. Taruhlah contoh Di USA, ketika seorang Gary Hart mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai presiden pada 1988 karena skandal seksnya dengan foto model molek Donna Rice, terbongkar oleh media. Juga Andrew Jackson yang jatuh dari kursi kepresidenan Amerika karena ketahuan menyeleweng dengan istri Menteri Pertahanan John Eaton. Di Negara kita sendiri, ada tindakan asusila oknum wakil rakyat yang hangat diperbincangkan media terjadi pada awal 2007 lalu. Seorang politisi sebuah partai besar yang juga mantan anggota wakil rakyat diberitakan mempunyai skandal dengan seorang kader partainya, yang akhirnya, ia mengundurkan diri dari keanggotaannya sebagai anggota dewan.
Kiranya hanya untuk alasan yang demikianlah tindakan expose hal-hal yang bersifat pribadi bisa dibenarkan. Selebihnya, “Wartawan Indonesia haruslah menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum”.( pasal 6 kode etik jurnalistik PWI pen.)
Seharusnya bukan infotainment
Merujuk pada kode etik jurnalistik wartawan Indonesia Pasal 3 bahwa “wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional”, apa yang terjadi sekarang sangat perlu dikoreksi ulang.
Perlu diapresiasi analisis Butet Kartaredjasa, seorang aktor monolog asal Yogyakarta bahwa “sebagian besar tayangan infotainment di televisi tidak memiliki “saringan” untuk menyeleksi informasi, dan tidak bisa membedakan antara fakta dan fiksi”. Sehingga makna infotainment yang secara leksikal berarti “pemberian informasi” bergeser ke posisinya sebagai produk entertainment .
Fungsi dari acara tersebut secara tak disadari telah berputar 180 derajat dari sesuatu yang berlandaskan data obyektif menuju hal lain yang subyekvitas pembuatnya kental di dalamnya. Tak heran jika sebuah pernyataan mencuat kemudian,“ini bukan lagi infotainment, ini murni hiburan”
“Not All the fact reflect the truth”, Tidak semua yang terjadi menunjukkan yang sebenarnya. Tampaknya kaidah ini belum dipegang kuat oleh insan pers. Menurut pengamatan penulis, data dan informasi yang disampaikan seringkali merupakan cuplikan kejadian yang parsial, sehingga untuk menjadi “tontonan” yang menarik haruslah dibumbui dengan kisah – kisah serta cerita – cerita yang notabene “ada” sutradaranya. Terlalu berburuk sangka dan meninggalkan azaz praduga tak bersalah, demi kepentingan pribadi, seakan telah menjebak media kita ke dalam sistem penuh kebohongan dan ketidak jujuran.
Sehingga, tujuan sebenarnya dari ditayangkannya acara tersebutpun menjadi rancu. Apakah untuk menjalankan tugas memenuhi keinginan masyarakat, dengan informasi-informasi yang akurat, atau justru ~dengan berbagai cara~ berusaha membentuk keingin tahuan mereka?
Beberapa refleksi
Masih menurut Butet, “penyebab semua itu, karena tidak adanya etos jurnalisme dalam kerja para awak infotainment. Kenyataan ini tampak ketika data yang disajikan tak lagi dapat dipertanggung jawabkan, tidak akurat dan tidak fair”. "Infotainment seharusnya menjadi kegiatan keredaksian, sehingga menjadi produk berita yang dapat dipertanggungjawabkan,". Dalam posisinya sebagai produk berita, infotainment dapat dikemas menjadi tayangan informasi ringan yang disajikan secara bertanggung jawab".
Pasal 5 kode etik jurnalistik wartawan Indonesia dengan tegas menyebutkan “Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri.” Inilah idealisme yang harus dimiliki untuk menelorkan info yang fair, responsible dan accurate.
Karenanya perlu ditinjau ulang proses rekrutmen petugas-petugas pewartaan. Pelatihan-pelatihan dengan berdasar kode etik jurnalistik juga patut diadakan mengingat perlunya pemahaman yang matang tetang bagaimana mendongkrak profesionalitas awak pers. Selain itu, pihak pengelola televisi tidak boleh salah lagi menempatkan infotainment. Acara semacam ini seharusnya dikelola oleh redaksi pemberitaan dan bukan oleh redaksi hiburan.
Dan kita selaku masyarakat yang saben hari disuguhi “kebenaran” yang sangat mungkin “salah” hendaklah mulai bertanya,”Seandainya selebriti tersebut berpacaran lalu menikah, apa kita yang rugi ataukah kita untung?” tentu anda semua lebih tahu jawabannya.
Jumat, 27 Juni 2008
FATWA MUI VIS A VIS TRAGEDI MONAS 1 JULI
Kejadian yang semua orang menyayangkan terjadinya.
Pada akhir Juni lalu, umat Islam Indonesia digemparkan dengan “penyerangan” oleh sejumlah orang yang mengatas namakan sebuah Ormas Islam terhadap kelompok lain yang sedang melakukan aksi di depan MONAS memeringati hari kesaktian pancasila. Beberapa pendapatpun bermunculan. Berbagai Komentar miring serta penghujatan dialamatkan kepada mereka yang terlibat penyerangan. Pemerintahpun tak tinggal diam, sesuai dengan instruksi langsung dari Presiden RI, beragam usaha yuridis ditempuh guna menjerat pelaku kekerasan tersebut.
Di luar konflik panjang tersebut, ada hal yang menggelitik perasaan penulis. Pasca hilangnya seseorang yang mengaku bertanggung jawab atas insiden tersebut, beredar video di sejumlah televisi tentang pernyataan sang buron akan kesediaannya menyerahkan diri jika SKB (Surat Keputuan Bersama) 3 Menteri tentang Aliran Ahmadiyyah telah keluar. Apa yang terjadi seolah ingin menunjukkan bahwa satu dari beberapa hal yang menyebabkan “penyerangan” adalah belum keluarnya SKB 3 Menteri.
Sehingga lagi, MUI yang notabene tidak tahu apapun tentang “penyerangan” tersebut terkena dampaknya. Menurut beberapa orang, fatwa MUI tentang sesatnya aliran Ahmadiyyah turut mem-back ground-i aksi penyerangan tersebut. Banyak hujatan yang menyayangkan keluarnya fatwa tersebut. Inilah kiranya hal mendasar yang membuat penulis yang masih sangat bodoh ini ingin menyuarakan isi batinnya, setidaknya agar ada yang mau meng-ishlah jika ternyata apa yang penulis sampaikan salah.
Kontroversi fatwa MUI dan SKB 3 Menteri
Di antara sebelas pasal dalam fatwa MUI hasil Munas MUI VII tahun 2005 lalu, terdapat beberapa poin yang dianggap kontroversial. diantaranya pengharaman aliran Ahmadiyah (poin 5). Pada awalnya-pun, fatwa tersebut telah memunculkan polemik berkepanjangan antar para cendekia muslim sendiri. Beberapa golongan berang. Pasalnya, fatwa tersebut dianggap menyalahi HAM, dan memprofokasi kaum muslimin mendiskreditkan kelompok termaksud.
Di lain pihak, mereka yang se”kata” dengan MUI, tak kalah lantang bersuara. Dengan mengatas namakan "salafusshalih" berbagai alasan pembelaan dikeluarkan. Yang pada ujungnya, menuntut tindakan lebih lanjut untuk menerapkan fatwa yang telah dikeluarkan.
Ironis tentunya, bahwa justru perpecahanlah yang ditimbulkan oleh munculnya fatwa MUI tersebut. Kemunculannya seakan malah membawa bibit pertikaian antar umat islam sendiri. Apalagi setelah sekarang SKB 3 Menteri diterbitkan. Masih banyaknya suara sumbang tersebutlah yang kiranya memerlukan adanya sebuah kontruksi pemahaman yang tepat dalam menyikapi fatwa tersebut.
Fatwa MUI ; pendekatan kontekstual
Memang secara tekstual, formulasi kata yang merumuskan pasal 5 (Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam) terkesan otoriter, sehingga terbesit kesan bahwa MUI -sebagai forum tertinggi ulama’ Islam Indonesia- lah yang memelopori merebaknya fenomena "haram–mengharamkan" atau "kafir-mengkafirkan" yang berujung pada “penyerangan” dan tindakan “brutal”. Padahal menurut hemat penulis, perpecahan seperti ini tidak harus terjadi jika kita melakukan pemahaman yang proporsional terhadap isi dan kandungan fatwa MUI. Yaitu melihat apa yang melatar belakangi munculnya fatwa tersebut.
Fatwa tersebut akan terasa sangat wajar, jika kita memandang MUI dalam kapasitasnya sebagai pemegang tambuk tertinggi dalam permasalahan–permasalahan agama Islam di Indonesia. Menjalankan fungsi tersebut, MUI sebagai lembaga yang independent haruslah tanggap terhadap realita yang ada dan sesegera mungkin mengeluarkan sikap (baca : fatwa) terhadap polemik yang muncul. Sehingga, adanya fatwa –yang walaupun dianggap salah oleh beberapa orang- merupakan sebuah keniscayaan yang wajar adanya.
Fatwa vs Qadha’
Menilai fatwa serupa dengan Qadha’, adalah sebuah kekeliruan. Secara historis, Qadha’ lebih tinggi otoritasnya dibanding fatwa. Qadha’ merupakan keputusan final dari Qadhi (hakim, pemerintah) yang bersifat mengikat dan otoriter. Sedang fatwa, hanyalah pandangan seorang yang "alim" sebagai hasil dari ijtihadnya. Meski begitu, kredibilitas seorang mufti yang diakui masyarakat umum sering membuat fatwa terposisikan sebagaimana Qadha’(harus dilaksanakan).
Jadi, ulama’ MUI -dengan berbagai fatwa yang mereka keluarkan- pada hakikatnya hanyalah menyampaikan apa yang menjadi hasil pemikiran mereka (baca : ijtihad), sedang masyarakat sendirilah yang menentukan apakah fatwa tersebut akan mereka terapkan atau tidak.
Memandang permasalahan dari sudut ini akan memahamkan kita bahwa tidak ada maksud MUI untuk "murni" haram-mengharamkan. Ataupun untuk membuat kebingungan di antara umat islam.
Mayoritas Muslimin Indonesia
Penyerangan beberapa elemen serta ormas Islam pada tanggal 1 juni lalu serta berbagai tindakan anarkis terhadap tempat-tempat ibadah serta tempat tinggal sekelompok orang yang difatwai "sesat", seharusnya membuka mata kita bahwa ternyata masyarakat Indonesia masih awwam. Perbedaan yang ada belum dapat disikapi dengan sikap yang seharusnya; Karenanya, keberadaan MUI (sebagai forum tertinggi ulama’ Indonesia) -yang notabene memegang urusan agama seluruh muslimin Indonesia- tak terbantahkan urgensinya.
Dan bahwa fatwa MUI disinyalir memprofokasi tindakan anarkis tersebut, inilah yang seharusnya menjadi "PR" bersama segenap cendekia muslim. Bagaimana membimbing umat menyikapi setiap fatwa yang muncul dengan respon yang benar. Tidak dengan menyalahkan serta menggugat MUI yang memberi fatwa, tetapi meng"islah" pandangan serta perilaku masyarakat yang di beri fatwa. Tidak hanya memperbaiki orang lain, berbenah diri sendiri dan intropeksi ke dalam juga wajib dilakukan.
Pada intinya, melihat ghirroh MUI dirasa lebih mendesak daripada mengobok-obok dzahir fatwa tersebut. Semangat "kemaslahatan" yang diusung MUI dalam fatwa fatwanya adalah manifestasi tanggung jawab serta kepedulian mereka sebagai "MAJLIS ULAMA’ INDONESIA"
Pada akhir Juni lalu, umat Islam Indonesia digemparkan dengan “penyerangan” oleh sejumlah orang yang mengatas namakan sebuah Ormas Islam terhadap kelompok lain yang sedang melakukan aksi di depan MONAS memeringati hari kesaktian pancasila. Beberapa pendapatpun bermunculan. Berbagai Komentar miring serta penghujatan dialamatkan kepada mereka yang terlibat penyerangan. Pemerintahpun tak tinggal diam, sesuai dengan instruksi langsung dari Presiden RI, beragam usaha yuridis ditempuh guna menjerat pelaku kekerasan tersebut.
Di luar konflik panjang tersebut, ada hal yang menggelitik perasaan penulis. Pasca hilangnya seseorang yang mengaku bertanggung jawab atas insiden tersebut, beredar video di sejumlah televisi tentang pernyataan sang buron akan kesediaannya menyerahkan diri jika SKB (Surat Keputuan Bersama) 3 Menteri tentang Aliran Ahmadiyyah telah keluar. Apa yang terjadi seolah ingin menunjukkan bahwa satu dari beberapa hal yang menyebabkan “penyerangan” adalah belum keluarnya SKB 3 Menteri.
Sehingga lagi, MUI yang notabene tidak tahu apapun tentang “penyerangan” tersebut terkena dampaknya. Menurut beberapa orang, fatwa MUI tentang sesatnya aliran Ahmadiyyah turut mem-back ground-i aksi penyerangan tersebut. Banyak hujatan yang menyayangkan keluarnya fatwa tersebut. Inilah kiranya hal mendasar yang membuat penulis yang masih sangat bodoh ini ingin menyuarakan isi batinnya, setidaknya agar ada yang mau meng-ishlah jika ternyata apa yang penulis sampaikan salah.
Kontroversi fatwa MUI dan SKB 3 Menteri
Di antara sebelas pasal dalam fatwa MUI hasil Munas MUI VII tahun 2005 lalu, terdapat beberapa poin yang dianggap kontroversial. diantaranya pengharaman aliran Ahmadiyah (poin 5). Pada awalnya-pun, fatwa tersebut telah memunculkan polemik berkepanjangan antar para cendekia muslim sendiri. Beberapa golongan berang. Pasalnya, fatwa tersebut dianggap menyalahi HAM, dan memprofokasi kaum muslimin mendiskreditkan kelompok termaksud.
Di lain pihak, mereka yang se”kata” dengan MUI, tak kalah lantang bersuara. Dengan mengatas namakan "salafusshalih" berbagai alasan pembelaan dikeluarkan. Yang pada ujungnya, menuntut tindakan lebih lanjut untuk menerapkan fatwa yang telah dikeluarkan.
Ironis tentunya, bahwa justru perpecahanlah yang ditimbulkan oleh munculnya fatwa MUI tersebut. Kemunculannya seakan malah membawa bibit pertikaian antar umat islam sendiri. Apalagi setelah sekarang SKB 3 Menteri diterbitkan. Masih banyaknya suara sumbang tersebutlah yang kiranya memerlukan adanya sebuah kontruksi pemahaman yang tepat dalam menyikapi fatwa tersebut.
Fatwa MUI ; pendekatan kontekstual
Memang secara tekstual, formulasi kata yang merumuskan pasal 5 (Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam) terkesan otoriter, sehingga terbesit kesan bahwa MUI -sebagai forum tertinggi ulama’ Islam Indonesia- lah yang memelopori merebaknya fenomena "haram–mengharamkan" atau "kafir-mengkafirkan" yang berujung pada “penyerangan” dan tindakan “brutal”. Padahal menurut hemat penulis, perpecahan seperti ini tidak harus terjadi jika kita melakukan pemahaman yang proporsional terhadap isi dan kandungan fatwa MUI. Yaitu melihat apa yang melatar belakangi munculnya fatwa tersebut.
Fatwa tersebut akan terasa sangat wajar, jika kita memandang MUI dalam kapasitasnya sebagai pemegang tambuk tertinggi dalam permasalahan–permasalahan agama Islam di Indonesia. Menjalankan fungsi tersebut, MUI sebagai lembaga yang independent haruslah tanggap terhadap realita yang ada dan sesegera mungkin mengeluarkan sikap (baca : fatwa) terhadap polemik yang muncul. Sehingga, adanya fatwa –yang walaupun dianggap salah oleh beberapa orang- merupakan sebuah keniscayaan yang wajar adanya.
Fatwa vs Qadha’
Menilai fatwa serupa dengan Qadha’, adalah sebuah kekeliruan. Secara historis, Qadha’ lebih tinggi otoritasnya dibanding fatwa. Qadha’ merupakan keputusan final dari Qadhi (hakim, pemerintah) yang bersifat mengikat dan otoriter. Sedang fatwa, hanyalah pandangan seorang yang "alim" sebagai hasil dari ijtihadnya. Meski begitu, kredibilitas seorang mufti yang diakui masyarakat umum sering membuat fatwa terposisikan sebagaimana Qadha’(harus dilaksanakan).
Jadi, ulama’ MUI -dengan berbagai fatwa yang mereka keluarkan- pada hakikatnya hanyalah menyampaikan apa yang menjadi hasil pemikiran mereka (baca : ijtihad), sedang masyarakat sendirilah yang menentukan apakah fatwa tersebut akan mereka terapkan atau tidak.
Memandang permasalahan dari sudut ini akan memahamkan kita bahwa tidak ada maksud MUI untuk "murni" haram-mengharamkan. Ataupun untuk membuat kebingungan di antara umat islam.
Mayoritas Muslimin Indonesia
Penyerangan beberapa elemen serta ormas Islam pada tanggal 1 juni lalu serta berbagai tindakan anarkis terhadap tempat-tempat ibadah serta tempat tinggal sekelompok orang yang difatwai "sesat", seharusnya membuka mata kita bahwa ternyata masyarakat Indonesia masih awwam. Perbedaan yang ada belum dapat disikapi dengan sikap yang seharusnya; Karenanya, keberadaan MUI (sebagai forum tertinggi ulama’ Indonesia) -yang notabene memegang urusan agama seluruh muslimin Indonesia- tak terbantahkan urgensinya.
Dan bahwa fatwa MUI disinyalir memprofokasi tindakan anarkis tersebut, inilah yang seharusnya menjadi "PR" bersama segenap cendekia muslim. Bagaimana membimbing umat menyikapi setiap fatwa yang muncul dengan respon yang benar. Tidak dengan menyalahkan serta menggugat MUI yang memberi fatwa, tetapi meng"islah" pandangan serta perilaku masyarakat yang di beri fatwa. Tidak hanya memperbaiki orang lain, berbenah diri sendiri dan intropeksi ke dalam juga wajib dilakukan.
Pada intinya, melihat ghirroh MUI dirasa lebih mendesak daripada mengobok-obok dzahir fatwa tersebut. Semangat "kemaslahatan" yang diusung MUI dalam fatwa fatwanya adalah manifestasi tanggung jawab serta kepedulian mereka sebagai "MAJLIS ULAMA’ INDONESIA"
Langganan:
Komentar (Atom)
