Minggu, 12 April 2009

pernikahan dini dalam perspektif hadis nabi (presented at desember 08, Brebes)

Sebuah pengantar : Nikah ; telaah maqhosid
Nikah secara bahasa berasal dari shighat fi’il madhi nakaha-yankihu yang berarti berkumpul dan hubungan badan atau memberi nafkah. Pendapat lain menyatakan : al-Nakhu secara etimologi adalah bersetubuh, sehingga nikah secara istilah didefinisikan sebagai proses akad yang menyebabkan dibolehkannya hubungan badan antara seorang laki-laki dengan perempuan.
Di dalam al qur’an, Allah menyebut perintah untuk menikah dalam surat an nur : 32 yang artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”
Menurut ath-Thabari, maksud ayat tersebut adalah perintah bagi kaum muslimin untuk menikahi seseorang yang tidak mempunyai pasangan. Berbeda dengan Imam Ibn Katsir yang cenderung menempatkan ayat ini sebagai perintah menikah bagi setiap orang yang mampu. Menurutnya, makna dari lafadz ‘yJ»tƒF{$# adalah perempuan yang belum mempunyai suami atau laki laki yang tidak mempunyai istri baik itu masih perawan/perjaka ataupun janda/duda.
Sekian pendapat yang dilontarkan para ulama’ tersebut, paling tidak memberikan sebuah gambaran, bahwa dalam islam, permasalahan nikah merupakan bagian yang krusial. Ini tak lepas dari banyaknya aspek pertimbangan* yang mendasari adanya perintah untuk menikah tersebut. Diantaranya adalah sebagaimana yang dipahami para ahli tafsir dari apa yang tersurat dalam surat ar Rum : 21. Firmannya :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur 4 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Tujuan dari adanya hubungan pernikahan adalah terciptanya hubungan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah yang dalam makna leksikalnya berarti tentram, cinta, dan kasih sayang.
Menurut tafsir al rozy, yang dinamakan sakinah adalah menyatukan pasangan suami-istri dan mencondongkan hati keduanya. Sedangkan mawaddah wa rahmah berarti saling mencintai dan saling mengasihi antar keduanya dikarenakan adanya hubungan pernikahan tersebut. Sehingga salah satu hal yang (mungkin) menjadi tujuan pernikahan adalah untuk mencapai hubungan yang harmonis di antara suami dan istri.
Sebuah penafsiran lain, yang disebutkan dalam fathu al qodir menyatakan bahwa al mawaddah adalah jima’(hubungan badan), sedang ar rahmah adalah hasil dari mawaddah, yaitu anak.(barangkali) dari sinilah dirumuskan tujuan selanjutnya dari pernikahan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan batin manusia sesuai insting alami mereka, serta untuk meneruskan keberlangsungan keturunan. Dan melihat dari sisi lain, hubungan pernikahan (sebagaimana diketahui) bisa menjadi salah satu hal yang mempererat hubungan antar keluarga pasangan yang menikah, dan (lebih jauh lagi) hubungan ukhuwwah antara kamu muslimin.

Wanita pada Zaman nabi : tinjauan historis
Dalam penjelasan selanjutnya, akan penulis ketengahkan beberapa informasi historis yang telah dianalisa tentang kedudukan perempuan di zaman Nabi. Hal ini penting mengingat topik pernikahan dini ’Aisyah berkaitan erat dengan kondisi wanita saat pernikahan itu berlangsung.
Umar bin Khattab pernah berkata "pada masa jahiliyah, wanita itu tidak ada harganya. Sampai akhirnya Islam datang dan menyatakan bahwa wanita itu sederajat dengan laki-laki." Dalam struktur sosial masyarakat Quraisy, wanita (kalau boleh dikatakan) tidak menikmati eksistensi kemanusiaannya. Wanita (pada zaman itu sering kali) menjadi bulan-bulanan kaum lelaki dan diperlakukan tak ubahnya barang yang bisa dipindah-tangankan. Ia dianggap sebagai penyebab kehinaan sehingga layak untuk ditindas dan dijadikan sebagai pemuas nafsu lelaki. Anak perempuan yang lahir, didaulat sebagai sumber malapetaka yang merendahkan harga diri suku, sehingga kehadirannya hanya mengakibatkan kemurkaan semata. Allah bercerita :
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
"Dan tatkala seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah." (QS An Nahl: 58).
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
"Dan tatkala bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh? (QS At Takwir: 8-9). "
Dalil lain yang menguatkan betapa rendahnya kehormatan wanita saat itu adalah praktik prostitusi yang menjadi pemandangan biasa di berbagai tempat. Pun juga jenis-jenis pernikahan yang terjadi pada masa itu. Nikah istibdha', nikah tawathu, nikah baghaya, nikah syighar, dan lain-lain tidak lebih sebagai kedok hubungan zina belaka.
Hingga diceritakan bahwa Seorang lelaki pada masa Jahiliyah bisa menikahi berapapun wanita yang ia mau tanpa batasan, menggabungkan dua saudara perempuan, atau bahkan mengawini mantan istri ayah-ayah mereka (baik yang ditinggal mati maupun yang diceraikan). Paradigma berpikir yang berkembang saat itu adalah bahwa kaum hawa tidak ubahnya barang dagangan yang bisa diperjual belikan dan atau diwariskan. Pada masa itu, suami bisa dengan seenaknya menggantung status cerai istrinya sampai ia mau mengembalikan seluruh harta yang diterima darinya. Kaum wanita tidak menerima hak waris. Serta kejahatan rumah tangga terhadap wanita menjadi sebuah fenomena yang umum terjadi*.
Kondisi “gelap” yang melingkupi kehidupan wanita jahiliyyah pada akhirnya sirna dengan datangnya risalah Nabi SAW. Islam (secara perlahan) mengentaskan kaum wanita dari ketertindasan sosial dan mendudukkan mereka di singgasana yang mulia. Islam datang memberikan mereka kesempatan untuk menikmati hak-haknya sebagai manusia. Penghormatan Islam terhadap wanita ini tergambar jelas dalam firman Allah :...وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ... (al-Nisa: 19), "Dan pergaulilah mereka (wanita-wanita) dengan baik."
Sehingga jika dilihat dengan seksama, semua ketetapan hukum (baik yang adaptif maupun yang revolusioner) yang berkenaan tentang perempuan, pasti berpijak pada satu semangat besar ; “mengangkat derajat perempuan”.
Adapun tentang pernikahan dini di zaman ketika Rasul hidup, bukanlah menjadi sesuatu hal yang tidak lumrah (baca : tabu), indikasinya adalah sebuah data yang sampai pada kita tentang semua putri Rasullulah yang menikah diusia muda, yaitu saat mereka telah mendapatkan menstruasi pertama terkecuali Fatimah Az zahra, yang menikah diusianya yang ke-14.
Bukti lain adalah sebuah hadis riwayat Abu ‘Ashim bersumber dari ‘Aisyah, yang menceritakan : sepeninggal khodijah, Khoulah binti hakim bertanya kepada Rasulullah apakah beliau mau menikah lagi. Nabi kemudian bertanya, “siapa (yang kau tawarkan) ?”. Khoulah menjelaskan argumentasinya dengan memberikan alternatif: saudah bintu Zam’ah dari golongan janda , ataukah ‘Aisyah bintu Abi bakar dari golongan gadis . Logikanya, jika pada saat itu pernikahan seorang yang masih “belia” dianggap “tidak layak”, pasti Khoulah tidak akan berinisiatif seperti itu. Dan lagi, respon dari Rasulullah tidak menunjukkan adanya sesuatu hal yang salah dengan usulan tersebut.
Dan lagi, perempuan pada zaman itu (tentu saja) berbeda dengan keadaan perempuan sekarang, mereka telah mengalami haidh pada usianya yang ke-9, sehingga pada saat itu, hubungan suami istri sudah bisa dilaksanakan. Mereka juga tidak dikenai tuntutan-tuntutan sebagaimana gadis zaman sekarang. Tidak diwajibkan bagi mereka “wajib belajar sembilan tahun”, tidak perlu sisi kehidupan manusia modern yang kompleks menyibukkan mereka.

Pernikahan Aisyah dengan Nabi Muhammad
Dalam kondisi masyarakat yang demikianlah ‘Aisyah, putri Abu Bakar al-Shiddiq dinikahi Rasulullah. Tepatnya, pada bulan syawwal tahun ke-11 kenabian, saat usianya baru enam tahun. Ia baru tinggal serumah dengan Nabi 7 bulan setelah hijroh pada bulan syawwal di umurnya yang ke-9.
Tentang peristiwa ini, hadis yang telah masyhur di kalangan kita adalah yang diriwayatkan ‘Aisyah sendiri :
حدثنا محمد بن يوسف حدثنا سفيان عن هشام عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوجها وهي بنت ست سنين وأدخلت عليه وهي بنت تسع ومكثت عنده تسعا*.
Kualitas hadis ini – sebagaimana dalam CD RoM Mausu’ah al Kutub al Tis’ah – adalah Hasan Marfu’ Muttashil dengan 24 jalur yang tersebar dalam kitab hadis sembilan.
Dalam syarahnya, Ibn Hajar berkomentar “tentang kebolehan menikah dengan gadis di bawah umur baligh, istidlal-nya kepada firman Allah ...فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ…”. Hadis ‘Aisyah ini menunjukkan bahwa Abu bakr menikahkannya dengan rasul ketika ia belum mencapai usaha dewasa. Sebagian ulama’ (di antara nya al mulahhab) –dengan dalih ini—membolehkan seorang ayah menikahkan anaknya meskipun ia belum siap menjadi istri**, sedang sebagian yang lain (termasuk ibn hazm) menganggapnya sebagai bagian dari ke-khusus-an rasulullah SAW yang tidak perlu diikuti oleh umatnya. Keterangan dari kitab syarh ini (tentu) tidak cukup memberikan keterangan yang komprehensif tentang detail peristiwa tersebut serta apa sebenarnya yang diinginkan oleh nash al hadis..
Pastilah bukan tanpa alasan Rasulullah menikahi Aisyah pada usia dini. Aisyah mempunyai kecerdasan tinggi, Dari kecilnya, sudah tampak tanda-tanda kepintaran dan ketajaman pikiran, karena itu Rasulullah SAW menikahinya sejak ia masih muda untuk menjadikannya perempuan yang paling tahu tentang da’wah serta hal-ihwal perilaku rasulullah sehari-hari. Karena sebagaimana yang diketahui, ilmu yang tertanam mulai kecil akan lebih kuat tertanam. Dan hasilnya ‘Aisyah kemudian tersohor menjadi satu di antara beberapa “pendekar” hadis. Ia banyak mengingat pesan (hadits) Nabi Muhammad SAW., yang kemudian ia sampaikan kepada banyak orang. Banyak hadits Nabi yang berasal dari riwayatnya. Dari sini, (terlihat seperti) secara disengaja, Rasulullah ingin mempersiapkannya sebagai sahabat wanita yang handal (baik dari segi intelegensi maupun spiritualitasnya.
Karena kecerdasannya, Ia ingat apa yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para jemaah di masjid*. Dinamika yang terjadi dalam forum masjid dapat direkam olehnya, bahkan ia juga sering kali bertanya mengenai berbagai hal kepada Rasulullah SAW. Inilah yang menjadikannya diakui oleh banyak kalangan sebagai intelek perempuan yang mempunyai sumber orisinal dari Nabi Muhammad SAW. Sehingga setelah wafatnya Rasulullah SAW, ia menjadi tempat bertanya tentang berbagai hal yang tidak diketahui oleh umat dan para shahabat.
Dan, tujuan ini secara tak langsung juga menjurus kepada “peningkatan derajat”bagi perempuan. Dengan mempersiapkan seorang perempuan yang tangguh, Rasul seakan melakukan tindakan preventif untuk melindungi “penghormatan terhadap kredibilitas” perempuan nantinya.**
Kemudian mengenai akad nikah yang dilaksanakan 3 tahun sebelum “hidup bersama”, ini (menurut penulis) malah memperkuat data yang dipaparkan di atas. Bahwa Nabi SAW benar-benar ingin mendidiknya. Dalam banyak hadis diceritakan bagaimana Nabi seringkali mengunjungi ‘Aisyah kemudian mengajaknya bercanda dan berkelekar serta mengajarinya (walaupun secara tersirat) sebuah pelajaran. Hanya (mungkin) waktu dan keadaan yang belum memungkinkan mereka hidup bersama. Karena sebagaimana yang diketahui, pernikahan itu terjadi pada periode madinah, di mana kondisi sosial-struktural kaum muslimin belum stabil.

Kontekstualisasi : pembacaan komprehensif terhadap kasus pernikahan Syeikh Puji
Menjadi isu yang ”santer” akhir – akhir ini, pernikahan seorang kyai di semarang yang dilangsungkan dengan seorang gadis berusia 12 tahun***. Tak hanya ahli hukum (baik agama maupun negara) saja yang ”geger” dengan perbincangan tentangnya. Banyak akademisi dari bermacam bidang keilmuan ingin meng-analisa fenomena ini dari kaca mata ilmu yang telah mereka pelajari. Termasuk penulis (tentu saja). Terlepas dari apakah ini nanti menjadi sebuah kajian obyektif ataukah hanya sekedar analisa yang dipaksakan, ada beberapa hal yang ingin penulis tekankan.
Berasumsi bahwa Syeikh Puji (sedikit banyak) terpengaruh dengan hadis yang telah dibahas panjang di atas, Pendekatan yang akan dipakai adalah dengan kritik pemahaman terhadap kontekstualisasi hadis tersebut.
Pertama
Melihat dari tujuan utama perkawinan sebagai pembentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rohmah. Harus lebih dahullu didahulukan sebuah spekulasi positif bahwa tujuan pasutri tersebut memang untuk demikian. Hanya saja, ada (paling tidak) 2 variable yang mesti ditelaah ulang.
Pertama, kondisi ulfa sebagai gadis Indonesia berusia 12 tahun yang hidup pada Abad Millenium. Berbeda dengan kondisi ‘Aisyah (sebagaimana yang telah dipaparkan), sisi kehidupan seorang gadis pada zaman sekarang, sudah sangatlah kompleks. Ada sistem tak tertulis yang memaksanya –sebagaimana gadis-gadis lain—memenuhinya demi kemaslahatan mereka sendiri. Pendidikan, pergaulan, pelampiasan emosi remaja, hubungan dengan orang tua serta banyak hal lain menjadi sisi-sisi yang tak semestinya diabaikan.
Kedua, kerelaan istri ”lama” Syeikh Muji. Pembahasan ini sebenarnya lebih pada pemaknaan nash-nash monogomi yang keluar dari inti pembicaraan makalah ini. Hanya (menurut hemat penulis), aspek ini juga terlalu “jelas” untuk dianggap suram.
Kedua
Sesuatu, yang fenomena apapun tak bisa lepas darinya, adalah kondisi sosial-hisoris saat kejadian berlangsung. Dalam kasus Rasulullah SAW (dan telah diterangkan panjang lebar), menikah dalam usia yang ”relatif muda” adalah sesuatu yang lumrah (baca : tidak tabu). Selain konstruksi pemahaman masyarakatnya yang menjadikannya demikian, apa yang telah disebutkan dalam point pertama tadi, menguatkan asumsi tersebut.
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah, bahwa adat istiadat suatu kaum, tidak tercipta seketika, tetapi ia merupakan akumulasi pekerjaan-pekerjaan yang terlaksana dalam jangka waktu yang lama. Dan dalam waktu panjang tersebut. Ada nilai-nilai yang (secara otomatis) tercipta. Nilai-nilai ini akan sangat berpengaruh pada kondisi sosial masyarakat tersebut. Yang berarti, pelanggaran tarhadapnya akan menimbulkan sebuah gap antara masyarakat sebagai kelompok mayoritas dengan pelaku ”penyimpangan”. Implikasi jauhnya, psikologi dan kehidupan sosial si pelaku akan (rentan) berubah. Ia akan (sangat mungkin) merasa asing, terintimidasi, dan lain-lain.
Jelas ini bukan hal yang ”remeh”. Dan (untuk saat ini) penulis belum mempunyai kapasitas untuk menganalisa lebih jauh.
Ketiga
Jika dalam pernikahannya dengan ’Aisyah, Rasulullah memiliki motivasi tersendiri untuk mendidik dan mempersiapkannya menjadi sahabat yang handal. Maka, harus pula dilihat, apa motivasi pribadi yang melandasi perbuatan Syaikh puji tersebut. Apakah hanya sebagai pemuas nafsunya sebagaimana yang dituduhkan banyak orang, ataukah ada alasan lain yang melatar-belakanginya. Alasan-alasan ini* juga perlu digali lebih jauh informasi tentangnya.
Bagian akhir : Sunnah vis a vis hadis
Dalam pemaknaan hadis nabi SAW versi Indonesia, pengertian keduanya seringkali disamakan. Padahal keduanya berbeda jauh yang masing-masing dari keduanya mempunyai dimensi tersendiri. Pada akhirnya, pemahaman yang salah ini, menimbulkan beberapa kerancuan dalam aktualisasi mana sebuah hadis.
Dalam diskursus ilmu hadis, baik “sunnah nabi” maupun “hadis nabi”, dianggap sama-sama bersumber dari nabi Muhammad SAW. Dalam kapasitasnya yang demikian, keduanya juga ter”ilham”kan dari “bisikan” Allah SWT. Letak perbedaannya adalah pada apakah hadis tersebut applicable (ter-formulasi dalam sebuah struktur masyarakat) atau tidak ?.
Pertanyaan mendasar ini muncul, sebagai akibat dari munculnya hadis - hadis (yang kalau boleh dibilang banyak)“bisu” dalam ranah aplikasi, terutama pada masyarakat yang kondisi struktural-historikalnya berbeda dengan tatanan di zaman Nabi SAW***. Karenanya, melihat aspek normativitas maupun historisitas dari sebuah hadis menjadi sangat urgen. Pada intinya, sebuah sunnah berasal dari hadis) baik yang qouly maupun fi’ly) tetapi tidak semua hadis bisa menjadi (atau dijadikan) sunnah.
Contoh kecilnya adalah permasalahan tata cara makan Rasulullah SAW. Dapat diketemukan pada shahih muslim sebuah hadis hasan dengan sanad dan matan lengkap sebagai berikut :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَها َ****
Posisinya sebagai hadis hasan yang bersumber dari Nabi SAW tak diragukan lagi, terlebih didukung dengan kwalitas sanad maupun matan yang qualified. Hanya dari segi pemaknaannya, hadis ini bukanlah sunnah. Yaitu bahwa tidak selamanya kita “dituntun” untuk makan dengan jari ataupun menjilat tangan kita setelah selesai makan*.
Dalam kasus pernikahan dini antara Rasulullah SWT dengan ‘Aisyah R.A, dengan melihat maqoshid yang telah dibahas awal tadi, terkesan “dipaksakan” untuk menjalankan apa yang tersurat dalam teks tanpa melihat hal-hal lain, walaupun data-data tentangnya valid dan lulus dari kritik sanad dan matan.
Wallaho a’lamu bish showab

Yogyakarta, 10 Desember 2008

Daftar Referensi :
al-Jaziry, Abdurrahman ,al-Fiqh ‘ala al-Madzhib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiah, 2004)
al-Bigha, Mustafa dib, al-Tahdzib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib, (Singapura-Jiddah-Indonesia: Haramain),TT
CD RoM al Maktabah Al Syamilah, bin ‘ibad, Al shohib al-Muhith fi al-Lughah
_____________________________,al mishry, Muhammad Lisan al-Arab,
_____________________________, Al-Thabari, Abu ja’far 'Tafsir al-Thabari'Kutub el-Barnamij fi al-Tafsir, Vol 19,
_____________________________, katsir, Ibn, Tafsir al-qur’an al ‘adhim, Vol 6, 8
_____________________________, Al suyuthy, al Mahally, tafsir al-Jalalain, Vol. 6,
_____________________________, al alusy, muhammad tafsir al-Alusi, Vol. 13
_____________________________, ar rozy, Muhammad, tafsir al-Razi, Vol 12
_____________________________,al Syaukani, Fath al-Qadir vol. 4
_____________________________, Ibn hajar al ‘asqolany, al ishobah fi tamyiz al shohabah, Vol 14
_____________________________, Fatawa al Syabakah al Islamiyyah, vol 16
_____________________________,Ibn ‘abd al barr, al-Isti'ab Fi Ma'rifah al-AshhabVolum. 4.
_____________________________, mirqot al mafatih syarh misykah.vol : 10
_____________________________, ibn Hajar al ‘Asqolany, Fath al bary bisyarhi shohih al bukhory, vol14
CD. ROM. Al-mausuah al-Hadits al-Syarif, (Global Islamic Software, 1991-1997)
Mubin, Nurul, Semesta Keajaiban Wanita, (yogyakarta: Diva press, 2008)

Rabu, 02 Juli 2008

JADWAL UDAH DIREVISI NIH........

JADWAL KEGIATAN TH-K SELAMA BULAN AGUSTUS

5 Agustus 2008 M -Deadline kembali ke pondok-(Setelah Liburan)
8 Agustus 2008 M -Sosialisasi hasil Munas CSS MoRA-(JEAL, Pagi Hari)
8 Agustus 2008 M -Penyambutan santri baru-(Acara Pondok, Malam Hari)
10-13 Agustus 2008 M -Pendalaman filsafat ilmu-(Pak Alim Ruswantoro)
14-16 Agustus 2008 M -Pendalaman Filologi-(Bu Adib Sofia)

18 Agustus 2008 M -Halaqoh I (diskusi panel “Studi Panel)-(Pak Muhadi Zainuddin, Pak Zuhri)
19-21 Agustus 2008 M -Studium Generale-(Acara Pondok)
22 Agustus 2008 M -(Halaqoh II (Bedah Kitab “al mar’ah baina syari’ah wa...)-(Pak. Abdul Mustaqim)
24 Agustus 2008 M -Maqrob (Parang Tritis)-(Acara Pondok)
26-29 Agustus 2008 M -Pendalaman Filsafat Logika-(Fahruddin Faiz)
30 Agustus 2008 M -Halaqoh III (Training karya ilmiah berbahasa Arab)-(Some one from pusat bahasa UIN & Pak Anis / Pak Maulidy

tu ya kang... jadwal lengkapnya..... udah konfirm ma pembicara n tetek bengeknya dah OK semua... trus kalo da yang izin mo pulang telat to gimana... secara prinsip sich ku gak bisa nglarang...... pokoknya diperhatikan aza jadwal semua... trus di pendelengin, dilihat dengan sksama, kira kira yang HARUS HADIR ACARA APA AJA.... gtu ya... tapi jelasnya, diharap partsipasi alltime dari temen-temen...... see uuuuu

Jumat, 27 Juni 2008

REKOREKSI TERHADAP TAYANGAN GOSSIP TELEVISI

“The people has right to know”
Adagium di atas telah masyhur ditelinga kita. Dengan pemaknaan sederhana, ini dapat berarti bahwa setiap orang berhak tahu apa yang ingin ia ketahui karena mencari tahu adalah kebutuhan manusiawi yang niscaya adanya dalam diri manusia. Naluri alami ini tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban. Semakin banyak hal – hal baru di sekitarnya, semakin orang tersebut terdorong untuk mengetahui lebih banyak dari pengetahuan orang lain. Ini karena, manusia pada umumnya doyan mencari informasi sebanyak-banyaknya, tentu saja dengan berbagai alasan dan kepentingan yang berbeda satu dengan lain. Maklum, bahwa yang sering mengaktualisasikan konsep ini, ~tentu saja~ adalah mereka yang senang mengobok–obok realita, mencari hal baru tentang apa yang ~menurut mereka~ seharusnya ingin diketahui khalayak (baca: pers).
Dalam banyak hal, pers punya peran besar. Informasi dengan standar obyektivity-oriented yang disajikan, banyak membantu memberikan pembelajaran kepada masyarakat. Dengan kata lain, jika berlandaskan idealisme jurnalistik yang baik, fungsi pers dan media sebagai “control agent of society” akan terealisasi.
Sayangnya, ada beberapa jalan pers yang penulis anggap keluar dari jalur tersebut. Sajian pers yang seharusnya menjadi sebuah acara berdasar relita, tak lagi berorientasi pada obyektivitas data dan kesesuaiannya dengan kenyataan, tetapi ada stressing pada “bagaimana sajian ini dianggap menarik sehingga rating acara tersebut naik”.
Fakta gosip, dilema antara kemubadziran dan efek negatif-persuasif.
Di beberapa waktu terakhir, acara bertajuk “pemberitaan informasi orang terkenal” ramai disajikan. Expose kehidupan seleb, baik dari kalangan entertainer maupun golongan elit berdasi, menjadi syndrome baru bagi kehidupan manusia Indonesia. Bukan hanya masyarakat saja yang senang dengan menu yang selalu up to date tersebut, tetapi media pun seakan gandrung dengan pemberitaan yang serupa.
Tidak sulit menemukan jadwal acara seperti ini. Pada beberapa stasiun Televisi, acara dengan contain berita yang sama bahkan dapat ditayangkan lebih dari tiga kali dalam sehari, tak heran jika keberadaan acara tersebut tak pernah luput dari pembahasan panjang tentang isi serta kabar-kabar di dalamnya.
Lebih lanjut, acara bertema gosip yang biasa disajikan dalam berbagai variasi tayangan televisi dewasa ini, mengeksploitasi hampir semua sisi seorang public figure. Mulai dari permasalahan yang tengah dihadapi, hingga rutinitas harian sehari-hari. Uniknya, jika yang ditayangkan adalah sesuatu yang positif, terkesan tak lebih dari sebuah informasi yang dipaksakan. Banyak yang naïf untuk dijadikan “sesuatu yang selayaknya diketahui masyarakat”(baca: info penting). Sebaliknya jika sisi negatif yang dimunculkan, secara tidak langsung, tayangan ini telah mengerucut sifatnya menjadi data-data “tidak baik” yang persuasif. Artinya, di setiap pemberitaan jelek yang disinggung, ada muatan pembelajaran tak langsung kepada audience. Kecenderungan mengikuti public figure akan membuka kemungkinan diikutinya perilaku–perilaku yang tidak patut itu oleh masyarakat. Apalagi dengan penayangan yang berulang-ulang yang ~tentu saja~ besar kontribusinya dalam mengkontruksi pemahaman masyarakat. Kenyataan ini tentu saja menyimpang dari etika jurnalistik yang disepakati pers Indonesia, bahwa “wartawan Indonesia…menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya....serta terpercaya dalam mengemban profesinya.( Pasal 1 kode etik jurnalistik PWI pen.).
Lebih ironis lagi, ketika informasi-informasi yang seharusnya mendorong masyarakat berpikir “lebih maju” dan “lebih dewasa”, justru berimplikasi negatif bagi perkembangan pola pikir mereka. Dulu, ada beberapa pembicaraan tabu yang oleh kultur masyarakat Indonesia pantang dibahas secara terbuka. Privacy menjadi sesuatu yang benar-benar hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Ada aturan tak tertulis yang menyatakan penghormatan kepada sisi pribadi seseorang, sehingga membicarakan sesuatu yang bukan urusan kitapun dianggap inpolite. Memang secara mutlak, ini semua tak bisa menjamin terciptanya masyarakat yang tenang dan kondusif. Tapi paling tidak, adanya sifat honour and respect alami pada masyarakat akan menjadi aturan pengekang kebebasan yang sebebas bebasnya.
Keadaan saat sekarang jauh berbeda dengan apa yang dipaparkan di atas. Media ~dalam acara gosip tersebut~ seakan me-legal-kan penggunjingan dalam skala yang lebih besar. Informasi-informasi yang diajukan dijadikan data-data referensi tentang seluk-beluk kehidupan seseorang public figure. Implikasinya, kultur budaya masyarakatpun turut bergeser cukup signifikan. Gosip tak hanya hangat dibicrakan pada acara semisal arisan ibu-ibu, tapi juga merambat ke warung kopi, pasar bahkan di taman-taman sekolahan. dilemanya jelas, kalau bukan membicarakan sesuatu yang mubadzir untuk dibahas, pastilah tukar menukar data yang negatif-persuasif tadi.
Kebebasan pers penting, tapi bukan yang paling penting,
Lagi lagi, alasan klise yang dilontarkan adalah dasar kebebasan. Entah kebebasan berekspresi, kebebasan pers dan atau kebebasan-kebebasan semacamnya. Meskipun jelas, apa yang dinamakan freedom tersebut, seringkali digunakan untuk melegitimasi sesuatu yang keliru.
Tentang kebebasan ini, media ~dalam semua sajiannya~ hendaknya tidak hanya melihat dari kaca mata kebebasan yang parsial an sich. Di belahan dunia manapun, termasuk di Negara-negara yang berazaskan demokrasi, tidak ada kebebasan yang benar benar absolut. Pemahaman tentang kebebasan yang benar justru akan memberikan batasan yang jelas sejauh mana intervensi atas berbagai hal boleh diterapkan.
Hal yang lebih krusial dari sekedar mempertahankan kebebasan yang notabene meresahkan tersebut adalah bagaimana sikap yang harus diambil untuk menjaga stabilitas masyarakat. Informasi bukan hanya harus obyektif, tetapi musti dipertimbangkan aspek lain, diantaranya adalah hak masyarakat untuk menjaga dan memelihara rasa tertib dan aman, karena point ini juga merupakan bagian dari hak-hak manusia.
Pelanggaran privacy = pelanggaran HAM
Hampir sering dijumpai pada tayangan gosip di stasiun televisi swasta manapun, insiden yang menggelitik ketika salah seorang dari insan pers memaksakan sebuah pertanyaan kepada seseorang (baca: seleb), padahal nyana (dari responnya) bahwa orang tersebut tampak tidak senang dengan pertanyaan yang diajukan, sehingga ia harus mengayunkan tangannya, atau ~biasanya~ menutup mukanya menghindar dari jepretan kamera. Secara halus, insiden seperti ini mengesankan adanya pelanggaran privacy.
Padahal, bagi pers yang profesional, individual’s right for privacy hanya dapat dilanggar untuk kepentingan politik yang lebih besar. Taruhlah contoh Di USA, ketika seorang Gary Hart mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai presiden pada 1988 karena skandal seksnya dengan foto model molek Donna Rice, terbongkar oleh media. Juga Andrew Jackson yang jatuh dari kursi kepresidenan Amerika karena ketahuan menyeleweng dengan istri Menteri Pertahanan John Eaton. Di Negara kita sendiri, ada tindakan asusila oknum wakil rakyat yang hangat diperbincangkan media terjadi pada awal 2007 lalu. Seorang politisi sebuah partai besar yang juga mantan anggota wakil rakyat diberitakan mempunyai skandal dengan seorang kader partainya, yang akhirnya, ia mengundurkan diri dari keanggotaannya sebagai anggota dewan.
Kiranya hanya untuk alasan yang demikianlah tindakan expose hal-hal yang bersifat pribadi bisa dibenarkan. Selebihnya, “Wartawan Indonesia haruslah menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum”.( pasal 6 kode etik jurnalistik PWI pen.)
Seharusnya bukan infotainment
Merujuk pada kode etik jurnalistik wartawan Indonesia Pasal 3 bahwa “wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional”, apa yang terjadi sekarang sangat perlu dikoreksi ulang.
Perlu diapresiasi analisis Butet Kartaredjasa, seorang aktor monolog asal Yogyakarta bahwa “sebagian besar tayangan infotainment di televisi tidak memiliki “saringan” untuk menyeleksi informasi, dan tidak bisa membedakan antara fakta dan fiksi”. Sehingga makna infotainment yang secara leksikal berarti “pemberian informasi” bergeser ke posisinya sebagai produk entertainment .
Fungsi dari acara tersebut secara tak disadari telah berputar 180 derajat dari sesuatu yang berlandaskan data obyektif menuju hal lain yang subyekvitas pembuatnya kental di dalamnya. Tak heran jika sebuah pernyataan mencuat kemudian,“ini bukan lagi infotainment, ini murni hiburan”
“Not All the fact reflect the truth”, Tidak semua yang terjadi menunjukkan yang sebenarnya. Tampaknya kaidah ini belum dipegang kuat oleh insan pers. Menurut pengamatan penulis, data dan informasi yang disampaikan seringkali merupakan cuplikan kejadian yang parsial, sehingga untuk menjadi “tontonan” yang menarik haruslah dibumbui dengan kisah – kisah serta cerita – cerita yang notabene “ada” sutradaranya. Terlalu berburuk sangka dan meninggalkan azaz praduga tak bersalah, demi kepentingan pribadi, seakan telah menjebak media kita ke dalam sistem penuh kebohongan dan ketidak jujuran.
Sehingga, tujuan sebenarnya dari ditayangkannya acara tersebutpun menjadi rancu. Apakah untuk menjalankan tugas memenuhi keinginan masyarakat, dengan informasi-informasi yang akurat, atau justru ~dengan berbagai cara~ berusaha membentuk keingin tahuan mereka?
Beberapa refleksi
Masih menurut Butet, “penyebab semua itu, karena tidak adanya etos jurnalisme dalam kerja para awak infotainment. Kenyataan ini tampak ketika data yang disajikan tak lagi dapat dipertanggung jawabkan, tidak akurat dan tidak fair”. "Infotainment seharusnya menjadi kegiatan keredaksian, sehingga menjadi produk berita yang dapat dipertanggungjawabkan,". Dalam posisinya sebagai produk berita, infotainment dapat dikemas menjadi tayangan informasi ringan yang disajikan secara bertanggung jawab".
Pasal 5 kode etik jurnalistik wartawan Indonesia dengan tegas menyebutkan “Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri.” Inilah idealisme yang harus dimiliki untuk menelorkan info yang fair, responsible dan accurate.
Karenanya perlu ditinjau ulang proses rekrutmen petugas-petugas pewartaan. Pelatihan-pelatihan dengan berdasar kode etik jurnalistik juga patut diadakan mengingat perlunya pemahaman yang matang tetang bagaimana mendongkrak profesionalitas awak pers. Selain itu, pihak pengelola televisi tidak boleh salah lagi menempatkan infotainment. Acara semacam ini seharusnya dikelola oleh redaksi pemberitaan dan bukan oleh redaksi hiburan.
Dan kita selaku masyarakat yang saben hari disuguhi “kebenaran” yang sangat mungkin “salah” hendaklah mulai bertanya,”Seandainya selebriti tersebut berpacaran lalu menikah, apa kita yang rugi ataukah kita untung?” tentu anda semua lebih tahu jawabannya.

FATWA MUI VIS A VIS TRAGEDI MONAS 1 JULI

Kejadian yang semua orang menyayangkan terjadinya.
Pada akhir Juni lalu, umat Islam Indonesia digemparkan dengan “penyerangan” oleh sejumlah orang yang mengatas namakan sebuah Ormas Islam terhadap kelompok lain yang sedang melakukan aksi di depan MONAS memeringati hari kesaktian pancasila. Beberapa pendapatpun bermunculan. Berbagai Komentar miring serta penghujatan dialamatkan kepada mereka yang terlibat penyerangan. Pemerintahpun tak tinggal diam, sesuai dengan instruksi langsung dari Presiden RI, beragam usaha yuridis ditempuh guna menjerat pelaku kekerasan tersebut.
Di luar konflik panjang tersebut, ada hal yang menggelitik perasaan penulis. Pasca hilangnya seseorang yang mengaku bertanggung jawab atas insiden tersebut, beredar video di sejumlah televisi tentang pernyataan sang buron akan kesediaannya menyerahkan diri jika SKB (Surat Keputuan Bersama) 3 Menteri tentang Aliran Ahmadiyyah telah keluar. Apa yang terjadi seolah ingin menunjukkan bahwa satu dari beberapa hal yang menyebabkan “penyerangan” adalah belum keluarnya SKB 3 Menteri.
Sehingga lagi, MUI yang notabene tidak tahu apapun tentang “penyerangan” tersebut terkena dampaknya. Menurut beberapa orang, fatwa MUI tentang sesatnya aliran Ahmadiyyah turut mem-back ground-i aksi penyerangan tersebut. Banyak hujatan yang menyayangkan keluarnya fatwa tersebut. Inilah kiranya hal mendasar yang membuat penulis yang masih sangat bodoh ini ingin menyuarakan isi batinnya, setidaknya agar ada yang mau meng-ishlah jika ternyata apa yang penulis sampaikan salah.
Kontroversi fatwa MUI dan SKB 3 Menteri
Di antara sebelas pasal dalam fatwa MUI hasil Munas MUI VII tahun 2005 lalu, terdapat beberapa poin yang dianggap kontroversial. diantaranya pengharaman aliran Ahmadiyah (poin 5). Pada awalnya-pun, fatwa tersebut telah memunculkan polemik berkepanjangan antar para cendekia muslim sendiri. Beberapa golongan berang. Pasalnya, fatwa tersebut dianggap menyalahi HAM, dan memprofokasi kaum muslimin mendiskreditkan kelompok termaksud.
Di lain pihak, mereka yang se”kata” dengan MUI, tak kalah lantang bersuara. Dengan mengatas namakan "salafusshalih" berbagai alasan pembelaan dikeluarkan. Yang pada ujungnya, menuntut tindakan lebih lanjut untuk menerapkan fatwa yang telah dikeluarkan.
Ironis tentunya, bahwa justru perpecahanlah yang ditimbulkan oleh munculnya fatwa MUI tersebut. Kemunculannya seakan malah membawa bibit pertikaian antar umat islam sendiri. Apalagi setelah sekarang SKB 3 Menteri diterbitkan. Masih banyaknya suara sumbang tersebutlah yang kiranya memerlukan adanya sebuah kontruksi pemahaman yang tepat dalam menyikapi fatwa tersebut.
Fatwa MUI ; pendekatan kontekstual
Memang secara tekstual, formulasi kata yang merumuskan pasal 5 (Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam) terkesan otoriter, sehingga terbesit kesan bahwa MUI -sebagai forum tertinggi ulama’ Islam Indonesia- lah yang memelopori merebaknya fenomena "haram–mengharamkan" atau "kafir-mengkafirkan" yang berujung pada “penyerangan” dan tindakan “brutal”. Padahal menurut hemat penulis, perpecahan seperti ini tidak harus terjadi jika kita melakukan pemahaman yang proporsional terhadap isi dan kandungan fatwa MUI. Yaitu melihat apa yang melatar belakangi munculnya fatwa tersebut.
Fatwa tersebut akan terasa sangat wajar, jika kita memandang MUI dalam kapasitasnya sebagai pemegang tambuk tertinggi dalam permasalahan–permasalahan agama Islam di Indonesia. Menjalankan fungsi tersebut, MUI sebagai lembaga yang independent haruslah tanggap terhadap realita yang ada dan sesegera mungkin mengeluarkan sikap (baca : fatwa) terhadap polemik yang muncul. Sehingga, adanya fatwa –yang walaupun dianggap salah oleh beberapa orang- merupakan sebuah keniscayaan yang wajar adanya.
Fatwa vs Qadha’
Menilai fatwa serupa dengan Qadha’, adalah sebuah kekeliruan. Secara historis, Qadha’ lebih tinggi otoritasnya dibanding fatwa. Qadha’ merupakan keputusan final dari Qadhi (hakim, pemerintah) yang bersifat mengikat dan otoriter. Sedang fatwa, hanyalah pandangan seorang yang "alim" sebagai hasil dari ijtihadnya. Meski begitu, kredibilitas seorang mufti yang diakui masyarakat umum sering membuat fatwa terposisikan sebagaimana Qadha’(harus dilaksanakan).
Jadi, ulama’ MUI -dengan berbagai fatwa yang mereka keluarkan- pada hakikatnya hanyalah menyampaikan apa yang menjadi hasil pemikiran mereka (baca : ijtihad), sedang masyarakat sendirilah yang menentukan apakah fatwa tersebut akan mereka terapkan atau tidak.
Memandang permasalahan dari sudut ini akan memahamkan kita bahwa tidak ada maksud MUI untuk "murni" haram-mengharamkan. Ataupun untuk membuat kebingungan di antara umat islam.
Mayoritas Muslimin Indonesia
Penyerangan beberapa elemen serta ormas Islam pada tanggal 1 juni lalu serta berbagai tindakan anarkis terhadap tempat-tempat ibadah serta tempat tinggal sekelompok orang yang difatwai "sesat", seharusnya membuka mata kita bahwa ternyata masyarakat Indonesia masih awwam. Perbedaan yang ada belum dapat disikapi dengan sikap yang seharusnya; Karenanya, keberadaan MUI (sebagai forum tertinggi ulama’ Indonesia) -yang notabene memegang urusan agama seluruh muslimin Indonesia- tak terbantahkan urgensinya.
Dan bahwa fatwa MUI disinyalir memprofokasi tindakan anarkis tersebut, inilah yang seharusnya menjadi "PR" bersama segenap cendekia muslim. Bagaimana membimbing umat menyikapi setiap fatwa yang muncul dengan respon yang benar. Tidak dengan menyalahkan serta menggugat MUI yang memberi fatwa, tetapi meng"islah" pandangan serta perilaku masyarakat yang di beri fatwa. Tidak hanya memperbaiki orang lain, berbenah diri sendiri dan intropeksi ke dalam juga wajib dilakukan.
Pada intinya, melihat ghirroh MUI dirasa lebih mendesak daripada mengobok-obok dzahir fatwa tersebut. Semangat "kemaslahatan" yang diusung MUI dalam fatwa fatwanya adalah manifestasi tanggung jawab serta kepedulian mereka sebagai "MAJLIS ULAMA’ INDONESIA"